Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TAFSIR SURAT AL MUJADALAH AYAT 11


TAFSIR SURAT ALMUJADALAH AYAT 11


A. Latar Belakang

Bagi umat islam, ilmu pengetahuan berkaitan erat dengan keyakinan terhadap al-Quran yang diwayuhkan serta pemahaman mengenai kehidupan dan alam semesta yang diciptakan. Di dalam keduanya terdapat ketentuan-ketentuan Allah yang bersifat absolut, dimana yang satu dinamakan kebenaran Qur’ani (ayat Qur’aniyah). Dan ysng lsinya disebut kebenaran kauni (ayat Kauniyyah). Kebenaran tersebut hanya dapat didekati oleh manusia melalui proses pendidikan  dengan berbagai pendekatan dan dilakukan secara continue.

Al-Quran yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw, paling tidak mengemban fungsi utama, yaitu sebagai hudan, (petunjuk), bayyinah (penjelas) dan furqan (pembeda). Ketiga fungsi ini sangat relevan dan mampu menjawab berbagai macam permasalahan sejak al-Quran diturunkan sampai masa kini, bahkan mampu memberikan keyakinan bagi setiap orang yang bertanya kepadanya, hal ini tergambar dengan ayat pertama dengan perintah “iqra” (bacalah). Kata “iqra” ini mengandung berbagai ragam arti, antara lain, menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti mengetahui ciri-cirinya dan sebagainya, yang kesemuanya dapat dikembalikan kepada hakikat “menghimpun”.

Di samping itu Al-Quran juga membawa setidak-tidaknya tiga wawasan yang perlu dikaji dan di alami. Ketiga wawasan tersebut adalah wawasan kesejahteraan (al-wa’y al-qashqash),wawasan keilmuan (al-awa’y al-ilmi) dan wawasan kesejahteraan (al-wa’y al falah).

Mebahas hubungan antara al-Quran dan ilmu pengetahuan bukan melihat, adakah teori relavitas atau bahasan tentang luar angkasa, misalnya; atau ilmu komputer tercantum dalam al-Quran akan tetapi yang lebih penting adakah satu ayat al-Quran yang menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan atau sebaliknya, serta adakah satu ayat al-Quran yang bertentangan dengan hasil kemajuan ilmiah yang telah teruji kebenarannya? Dengan kata lain, meletakkannya pada sisi “social pdychoogy” (psikologi soial) bukan pada sisi “history of scientific progress” (sejarah perkembangan ilmu pengetahuan).

Eksistensi manusia baik posisinya sebagai makhluk sosial maupun individual tidak akan terlepas dari kebutuhannya akan ilmu pengetahuan. Bahkan tinggi rendahnya kedudukan manusia di muka bumi ini, salah satunya ditentukan oleh ilmu Bahkan tinggi rendahnya kedudukan manusia di muka bumi ini, salah satunya ditentukan oleh ilmu yang dimilikinya, disamping faktor lainya seperti nilai ketakwaan. Disamping itu juga, ilmu pengetahuan dapat menentukan kualitas keimanan seseorang, sekalipun manusia dilahirkan tidak mengetahui apa-apa (la ta’lamuna syaia). Namun demikian, dalam perkembangan berikutnya, manusia sebagai anak cucu Adam, mengetahui pengetahuan dengan berbagai cara dan pendekatan dengan mendayagunakan berbagai potensi yang dimilikinya baik fisik maupun fsikis.

 

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana teks dan terjemahan surat al-mujadilah ayat 11 ?
2. Bagaimana asbab an-nuzul surat al-mujadilah ayat 11 ?
3. Bagaimana tafsir surat a-mujadilah ayat 11 ?
4. Bagaiamna penjelasan adab dan kedudukan penuntut ilmu ?
5. Bagaimana adab menuntut ilmu ?

 

C. Tujuan
1. Mengetahui teks dan terjemahan surat al-mujadilah ayat 11 ?
2. Mengetahui asbab an-nuzul surat al-mujadilah ayat 11 ?
3. Mengetagui tafsir surat a-mujadilah ayat 11 ?
4. Mengetahui penjelasan adab dan kedudukan penuntut ilmu ?
5. Mengetahui Bagaimana adab menuntut ilmu ?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Teks Dan Terjemah Surat Al Mujadilah Ayat 11

Surah Al-Mujadalah ayat 11 ini memberikan gambaran tentang perintah bagi setiap manusia untuk menjaga adab sopan santun dalam suatu majlis pertemuan dan adab sopan santun terhadap Rasulullah Saw. Al-Mujadalah merupakan salah satu surat dalam al-qur’an dengan jumlah 22 ayat. Surat ini turun di Madinah. Yang diturunkan sesudah surat Al-Munaafiqun. Termaksud golongan surat madaniyah. Pada ayat 11 menerangkan bahwa Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berilmu.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ آمَنُوْا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ  [ المجادلة/11]

Artinya: “Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS. Al-mujadalah : 11)

 

B. Asbab an-Nuzul Surat Al-Mujadilah Ayat 11

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Muqotil bahwa ayat ini turun pada hari jumat. Ketika itu, melihat beberapa sahabat yang dulunya mengikuti perang badar dari kalangan muhajirin maupun anshor. diantaranya tsabit ibn qais mereka telah didahului orang dalam hal tempat duduk. Lalu merekapun berdiri dihadapan rasulullah saw kemudian mereka mengucapakan salam dan Rasullullah menjawab salam mereka, kemudian mereka menyalami orang-orang dan orang-orang pun menjawab salam mereka. mereka berdiri menunggu untuk diberi kelapangan, tetapi mereka tidak diberi kelapangan. Rasullullah merasa berat hati kemudian beliau mengatakan kepada orang-orang disekitar beliau ,”berdirilah engkau wahai fulan, berdirilah engkau wahai fulan”. Merekapun tampak berat dan ketidak enakan beliau tampak oleh mereka. kemudian orang-orang itu berkata, “demi Allah swt, dia tidak adil kepada mereka. orang-orang itu telah mengambil tempat duduk mereka dan ingin berdekat dengan Rasulullah saw tetapi dia menyuruh mereka berdiri dan menyuruh duduk orang-orang yang datang terlambat.

 

C. Tafsir Surat Al-Mujadalah Ayat  11

Menurut Prof.DR.Hamka dalam Tafsir Al-Azhar  memberi judul pada penafsiran surah al-Mujadalah ayat 11 ini yang berjudul “Sopan Santun (Etiket) Suatu Majlis . Tentu saja berkerumunlah shahabat-shahabat Rasulullah saw. mengerumuni beliau karena ingin mendengar butir-butir dan nasehat dan bimbingan beliau. Dan apabila masyarakat itu kian berkembang kian banyaklah majlis tempat berkumpul membincangkan hal-hal yang penting . Tentu saja majlis demikian kadang-kadang rnenjadi sesak dan sempit , karena banyaknya orang yang duduk . Dan kadang-kadang orang yang terlebih dahulu masuk mendapat tempat duduk yang bagus sedang yang datang kemudian tidak dapat masuk lagi. Kadang kadang pula disangka oleh yang datang kemudian bahwa tempat buat duduk di muka sudah tidak dapat menampung orang yang baru datang lagi , sehingga yang baru datang terpaksa duduk menjauh. padahal tempat yang di dalam itu masih lapang . Kadang-kadang orang yang telah enak duduknya di dalam itu kurang enak kalau ada yang baru datang meminta agar mereka disediakan tempat.

Maka datanglah peraturan dari Allah sendiri yang mengatur agar majelis itu teratur dan suasananya terbuka dengan baik . "Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu berlapang-lapanglah pada majlis-majlis, maka lapangkanlah.  Artinya bahwa majlis, yaitu duduk bersama. Asal mulanya duduk bersama mengelilingi Nabi karena hendak mendengar ajarun-ajaran dan hikmat yang akan beliau keluarkan. Tentu ada yang datang terlebih dahulu, sehingga tempat duduk bersama itu kelihatan telah sempit. Karena di waktu itu orang duduk bersama di atas tanah, belum memakai kursi sebagai sekarang. Niscaya karena sempitnya itu, orang yang datang kemudian tidak lagi mendapat tempat. Lalu dianjurkanlah oleh Rasul agar yang telah duduk terlebih dahulu melapangkan tempat bagi yang datang kemudian. Sebab pada hakikatnya tempat itu belumlah sesempit apa yang kita sangka. Masih ada tempat lowong,  masih ada ternpat untuk yang datang kemudian. Sebab itu hendaklah yang telah duduk lebih dahulu melapangkan tempat bagi mereka yang baru datang itu.

Karena yang sempit itu bukan tempat, melainkan hati. Thabi'at mementingkan diri pada manusia sebagai kesan pertama, enggan memberikan tempat kepada yang baru datang itu. Oleh sebab itu apakah yang mesti dilapangkan lebih dahulu, tempatkah atau hati ? Niscaya hatilah ! Sebab bila kita lihat orang baru datang , kesan pertama ialah enggan memberikan tempat . Perhatikanlah orang yang menumpang kereta api yang telah bersempit-sempit. Tempat duduk hanya buat dua orang tetapi penumpang telah lebih dari hinggaan , sehingga banyak yang berdiri. Orang yang telah duduk tidaklah akan mempersalahkan orang yang naik kemudian itu untuk duduk ke dekatnya, sebab dia hendak mempertahankan haknya. Biarkan saja dia berdiri berjam-jam ! Masa bodoh!

Tetapi kalau yang datang kemudian itu kenalan baiknya, akan segera orang itu disuruhnya duduk. Ataup:m yang baru datang itu dengan sikap hormat memohon sudilah kiranya memberikan peluang baginya untuk turut duduk , niscaya akan diberinya juga dengan setengah enggan. tetapi setelah orang yang baru datang itu dapat membuka hati orang itu dengan sikapnya yang terbuka, dengan budi bahasanya, dengan senyum manisnya, akhirnya mereka tidak akan merasa sempit lagi, meskipun memang kelihatannya telah sempit.

Begitu pula dalam majlis pengajian dalam masjid atau surau-surau sendiri. Betapapun sempitnya tempat pada anggapan semula, kenyataannya masih bisa dimuat orang lagi. Yang di luar disuruh masuk ke dalam, karena tempat masih lebar, meskipun ada yang telah mendapatkan  tempat duduk itu yang kurang senang melapangkan tempat. Oleh sebab itu maka di dalam ayat ini diserulah terlebih dahulu dengan panggilan "orang yang beriman", sebab orang~rang yang beriman itu hatinya lapang, diapun mencintai saudaranya yang terlambat masuk. Kadang-kadang dipanggilnya dan dipersilahkannya duduk ke dekatnya. Lanjutan ayat mengatakan. Niscaya Allah akan melapangkan bagi kamu”.Artinya, karena hati telah dilapangkan terlebih dahulu menerima teman , hati kedua belah pihak akan sama-sama terbuka. Hati yang terbuka akan memudahkan segala urusan selanjutnya. Tepat sebagaimana bunyi pepatah yang terkenal ; " Duduk sendiri bersempit-sempit,duduk banyak berlapang-alapang." Duduk sendiri fikiranlah yang jadi sempit, tidak tahu apa yang akan dikerjakan. namun setelah duduk bersama,hati telah terbuka,musyawarat dapat berjalan dengan lancar, “berat sama dipukul, ringan sama dijinjing.

Kalau hati sudah lapang fikiran pun lega , akal pun terbuka dan rezeki yang halal pun dapat didatangkan Tuhan dengan lancar. Kekayaan yang istimewa dalam kehidupan ini terutama ialah banyaknya kontak di antara diri dengan masyarakat, banyak mendapat pertemuan umum. Walaupun seseorang mendapat kekayaan berlipat ganda, sama saja keadaannya dengan seorang yang miskin kalau hatinya sempit kalau yang diingatnya hanya keuntungan diri sendiri , sehingga tempat duduk pun enggan memberikan kepada orang"Dan jika dikatakan kepada kamu "berdirilah", maka berdirilah Ar-Razi mengatakan dalam tafsirnya bahwa maksud dari kata-kata ini adalah dua; l). Jika disuruh orang kamu berdiri untuk memberikan tempat kepada yang lain yang lebih patut duduk di tempat yang kamu duduki itu, segeralah berdiri! 2). Yaitu jika disuruh berdiri karena kamu sudah lama duduk, supaya orang lain yang belum mendapat kesempatan diberi peluang pula, maka segeralah kamu berdiri! Kalau sudah ada saran menyuruh berdiri, janganlah "berat ekor" seakan akan terpaku pinggulmu di tempat itu, dengan tidak hendak memberikesempatan kepada orang lain.

Salam mereka dijawab orang yang telah hadir, tetapi mereka tidak bergeser dari tempat duduk mereka, sehingga orang-orang yang baru datang itu terpaksa berdiri terus. Melihat hal itu Rasulullah merasakan kurang senang terutama karena di antara yang baru datang itu adalah shahabat-shahabat yang mendapat penghargaan istimewa dari Allah, karena mereka turut dalam peperangan Badr.

Akhirnya bersabdalah Rasulullah saw. kepada shahabat-shahabat yang bukan ahli-ahli Badr; "Hai Fulan berdirilah engkau! Hai Fulan,engkau berdiri pulalah!" Lalu beliau suruh duduk ahli-ahli Badr yang masih berdiri itu. Tetapi yang disuruh berdiri itu ada yang wajahnya terbayang rasa kurang senang atas hal yang demikian dan orang munafiq yang turut hadir mulailah membisikkan celaannya atas yang demikian seraya berkata; "Itu perbuatan yang tidak adil, demi Allah ! Padahal ada orang dari semula telah duduk karena ingin mendekat dan mendengar, tiba-tiba dia disuruh berdiri dan tempatnya disuruh duduki kepada yang baru datang. Melihat yang demikian bersabdalah Rasulullah Saw. "Dirahmati Allah seseorang yang melapangkan tempat buat saudaranya ". ( Ibn Abi Hatim)

Inilah sebab turun ayat menurut riwayat Muqatil bin Hubban itu. Sebuah riwayat sebab turun ayat lagi diriwayatkan pula dari Ibnu 'Abbas,bahwa turunnya ayat ini berkenaan dengan Tsabit bin Qais bin Syammas. Yaitu bahwa dia masuk ke dalam masjid terkemudian,didapatinya orang telah ramai. Sedang dia ingin sekali duduk di dekat Rasulullah saw., karena telinganya kurang mendengar (agak pekak). Beberapa orang melapangk:an tempat baginya,tetapi beberapa yang lain tidak memberinya tempat sehingga terjadi pertengkaran. Akhirnya disampaikannya kepada nabi saw. bahwa dia ingin duduk mendekati Rasulullah ialah karena dia agak pekak, tetapi kawan ini tidak memberinya peluang untuk duduk. "Maka turunlah ayat ini",kata Ibnu 'Abbas; Disuruh orang memperlapang tempat buat temannya dengan terutama sekali memperlapang hati! Dan jangan sampai seseorang menyuruh orang lain berdiri karena dia ingin hendak menduduki tempatnya tadi.

Lain keterangan lagi ialah bahwa mereka berduyun dan semua ingin paling dekat kepada nabi. Maka turunlah ayat ini menyuruh memerlapang tempat untuk yang datang di belakang,dan kalau Nabi menyuruh berdiri segeralah berdiri,biar berikan pula tempat kepada yang baru datang,jangan hendak dikangkangi tempat itu untuk diri sendiri.

Lama-lama bertambah teraturlah majlis itu. Karena masing-masing orang telah tahu hormat menghormati , yang tua patut dituakan , yang lebih berjasa patut dilebihkan. karena Nabi saw. pernah pula bersabda; "Supaya mengelilingiku orang-orang yang mempunyai pandangan jauh dan lanjutan."(riwayat Imam Akhmad)

Sejak itu artinya orang-orang tua atau dituakan dijaga sajalah mana yang patut di muka biarlah dia di muka. Biasanya Abubakar di sebelah kanan beliau,'Umar di sebelah kiri,sedang 'Utsman dan 'Ali duduk di hadapan beliau,sebab keduanya kerapkali diberi tugas mencatat wahyu kalau kebetulan turun. Begitu menurut yang dirawikan oleh Muslim.Ar-Raziy mengatakan dalam tafsirnya bahwa berkat pengaruh kelapangan tempat duduk karena hati yang lebih dahulu lapang itu, karena mereka memang banyak memang sempitlah tempat mereka duduk itu, tetapi tidak terasa sebab masing-masing melapangkan hati malahan silah menyilahkan, panggil memanggil. Dan kalau ada yang terpaksa meninggalkan majlis sebentar untuk sesuatu hajat, tidak ada yang mau menggantikan tempat duduk itu, kecuali kalau dia mengatakan tidak akan kembali lagi karena sesuatu uzur yang lain.

Ar-Razi mengatakan bahwa ayat ini menunjukkan bahwa apabila seseorang berlapang hati kepada sesamanya hamba Allah dalam memasuki serba aneka pintu kebajikan dan dengan kesenangan fikiran, niscaya Allah akan melapangkan pula baginya pintu-pintu kebajikan di dunia dan di akhirat. Sebab itu kata Razi selanjutnya tidaklah selayaknya orang yang berakal cerdas membatasi ayat ini hanya sekedar melapangkan tempat duduk dalam suatu majlis bahkan luaslah yang dimaksud oleh ayat ini yaitu segala usaha bagaimana agar suatua kebajikan dan kemanfaatan sampai kepada sesama Muslim,bagaimana supaya hatinya jadi senang,bagaimana membuat kita gembira dalam hatinya dan menghilangkan perasaannya yang tertekan, termasuklah semuanya dalarn cakupan ayat ini. Sesuai dengan sabda Rasulullah saw."Senantiasalah Allah akan menolong seorang hambaNya, selama hamba itu pun masih bersedia menolong sesamanya Muslim." ( dirawikan oleh Muslim, Abu Dawud dan At-Tarmidzi ; susunan kata dari riwayatnya.)

Selain dari itu ada lagi beberapa peraturan sopan santun yang berkenaan dengan shaff pula, terutama pada sembah yang berjamaah lima waktu. Orang dianjurkan berlomba menuju shaff yang pertama. Maka pada hari jum'at, banyaklah orang-orang yang dianggap tidak pantas menurut "shaff dunia" berlomba duduk ke shaff yang pertama. Mereka cepat-cepat datang ke Masjid karena melaksanakan anjuran Nabi saw, lebih lekas ke masjid lebih baik, dan pahalanya lebih besar. Tetapi kerapkali kejadian, orang-orang yang dipandang mendapat kedudukan duniawi yang lebih tinggi terlambat datang. Lalu beliau dipersiilahkan datang di shaff yang pertama, bahkan kadang-kadang sajadah dan tempat duduk beliau telah tersedia. Maka kalau beliau datang tidak lagi boleh orang lain yang telah datang lebih dahulu disuruh meninggalkan shaffnya dan pindah ke shaff belakang, hanya semata-mata karena dia bukan "orang terpandang. "Nabi saw. bersabda; "Janganlah berdiri seseorang dari majlisnya untuk seorang yang lain tetapi lapangkanlah, niscaya Allah akan melapangkanmu pula." (Imam Ahmad )

"Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat " Sambungan ayat ini punmengandung dua tafsir. Pertama jika seseorang disuruh melapangkan majlis, yang berarti melapangkan hati, bahkan jika dia disuruh berdiri sekali pun lalu memberikan tempatnya kepada orang yang patut didudukkan di muka, janganlah dia berkecil hati. Melainkan hendaklah dia berlapang dada. Karena orang yang berlapang dada itulah kelak yang akan diangkat Allah imannya dan ilmunya, sehingga derajatnya bertambah naik. Orang yang patuh dan sudi memberikan tempat kepada orang lain itulah yang akan bertambah ilmunya. Kedua memang ada orang yang diangkat Allah derajatnya lebih tinggi dari pada orang kebanyakan, pertama karena imannya, kedua karena ilmunya Setiap hari pun dapat kita melihat pada raut rnuka, pada wajah, pada sinar mata orang yang beriman dan berilmu. Ada saja tanda yang dapat dibaca oleh orang yang arif bijaksana bahwa si Fulan ini orang beriman, si fulan ini orang berilmu. Iman memberi cahaya pada jiwa, disebut juga pada moral. Sedang ilmu pengetahuan memberi sinar pada mata. Iman dan ilmu membuat orang jadi mantap. Membuat orang jadi agung, walaupun tidak ada pangkat jabatan yang disandangnya. Sebab cahaya itu datang dari dalam dirinya sendiri, bukan disepuhkan dari luar. " Dan Allah denga  apa pun yang kamu kerjakan, adalah Maha Mengetahui"(Ujung ayat 11).

Ujung ayat ini ada patri ajaran ini. Pokok hidup utama adalah Iman dan pokok pengiringnya adalah Ilmu. Iman tidak disertai ilmu dapat membawa dirinya terperosok mengerjakan pekerjaan yang disangka rnenyembah Allah, padahal mendurhakai Allah. Sebaliknya orang yang berilmu  saja tidak disertai atau yang tidak membawanya kepada iman, maka ilmunya itu dapat membahayakan bagi dirinya sendiri ataupun bagi sesama manusia Ilmu manusia tentang tenaga atom misalnya , alangkah penting ilmu itu, itu kalau disertai Iman Karena dia akan membawa faedah yang besar bagi seluruh peri kemanusiaan. Tetapi ilmu itupun dapat dipergunakan orang untuk memusnahkan sesamanya manusia, karena jiwanya tidak dikontrol oleh Irnan kepada Allah.

 

D. Penjelasan Adab dan Kedudukan Penuntut Ilmu

Ta’dib secara Etimologi merupakan bentuk masdar kata kerja addaba yang berari ‘mendidik, melatih berdisiplin, memperbaiki, mengambil tindakan, beradab, sopan, berbudi baik, mengikuti jejak akhlaknya. Kata ta’dib pada umumnya lebih banyak digunakan pada pendidikan yang bersifat keterapilan lahir yakni latihan dan keterampilan. Ia berasal dari kata adab, yang berarti etika, sopan santun, dan budi pekerti lebih tepat diartikan mengajarkan adab atau diartikan memberi pelajaran atau hukuman.

Menurutal-attas, istilah ta’dib adalah istilah yang paling tepat digunakan untuk menggambarkan pengertian pendidikan, karena pada dasarnya pendidikan Islam bertujuan untuk melahirkan manusia yang beradab. Sementara istilah tarbiyah terlalu luas karena pendidikan, dalam istilah ini mencakup pendidikan untuk hewan. Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa istila Ta’dib merupakan masdar kata kerja addaba yang berarti pendidikan. Kemudian, dari kata addaba ini diturunkan juga kata adabun. Menurut al-attas, adabun berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hirarkis sesuai dengan berbagai tingkat dan derajat tingkatan mereka dan tentang tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kapasitas dan potensi jasmaniah, intelektual, maupun rohaniyah seseorang. Al-attas mengatakan bahwa adab adalah pengenalan serta pengakuan akan hak keadaan sesuatu dan kedudukan seseorang, dalam rencana susunan berperingkat martabat dan derajat, yang merupakan suatu hakikat yang berlaku dalam tabiat semesta. Pengenalan adalah ilmu; pengakuan adalah amal. Maka, pengenalan tanpa pengakuan, seperti ilmu tanpa amal; dan pengakuan tanpa pengenalan seperti amal tanpa ilmu. Keduanya sia-sia karena yang satu menyifatkan ketiadasadaran dan kejahilan.

Berdasarkan pengerian adab seperti itu, al-Attas mendifinisikan pendidikan menurut islam sebagai pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam manusia, tentang tempat-tempat yang tepat bagi segala sesuatu di dalam tatanan wujud, sehingga hal ini membimbing kearah pengenalan dan pengakuan tempat tuhan yang tepat didalam tatanan wujud tersebut.

Pendapat al-Attas mengenai Ta’dib, dikuatkan oleh Sa’dudin Mansur Muhammad. Ia beralasan bahwa istilah Ta’dib merupakan istilah yang mencakup semua aspek dalam pendidikan baik unsure tarbiyah maupun taklim. Lebih lanjut ia menegaskan bahwa istilah ta’dib sudah dikenal sejak zaman jahiliah dan dikuatkan setelah datangnya Nabi Muhammad saw.

Alasan yang lebih mendasar yang melatar belakangi al-Attas memilih istilah ta’dib adalah, adab berkaitan erat dengan ilmu, sebab ilmu tidak dapat diajarkan atau ditularkan kepada anak didik, kecuali jika orang tersebut memiliki adab yang tepat terhadap ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang.

Kemudian, konsep pendidikan Islam yang hanya terbatas pada makna tarbiyah dan taklim itu telah dirasuki pandangan hidup barat yang berlandaskan nilai-nilai dualisme, sekularisme, humanism, dan sofisme, sehingga nilai-nilai adab menjadi kabur dan semakin jauh dari nilai-nilai hikmah Ilahiah. Kekaburan makna adab tersebut mengakibatkan kezaliman, kebodohan, dan kegilaan. Kezaliman yang dimaksud disini adalah meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya, sementara kebodohan adalah melakukan cara yang salah untuk mencapai hasil tujuan tertentu, dan kegilian adalah perjuangan yang berdasarkan tujuan dan maksud yang salah.Istilah adab juga merupakan salah satu istilah yang identik dengan pendidikan akhlak, bahkan Ibn Qayyim berpendapat bahwa adab adalah inti dari akhlak, karena didalamnya mencakup semua kebaikan. Lebih dari itu, konsep adab ini, pada akhirnya berperan sebagai pembeda antara pendidikan karakter dengan pendidikan akhlak. Orang berkarakter tidaklah cukup, karena pendidikan karakter hanya berdimensi pada nilai-nilai dan norma-norma kemanusian aja (makhluk), tanpa memperhatikan dimensi ketauhidan Ilahiyah (khaliq).

Sehingga orang berkarakter belum bias disebut berakhlak, karena bisa jadi orang berkarakter “toleransi” ia mengikuti paham pluralism sehingga memukul rata semua agama tanpa batasan norma syari’at. Sementara dalam pendidikan akhlak mengintegrasikan kedua dimensi tersebut, yakni nilai kemanusiaan (makhluk) dan nilai uluhiyah (khaliq) adalah hal yang wajib, dan tidak boleh dipisah-pisahkan. Sehingga orang berakhlak, secara langsung mencakup orang yang berkarakter. Dengan demikian, pendidikan akhlak atau adab adalah lebih syumul ‘mencakup’ daripada pendidikan karakter.

 

E. Adab menuntut ilmu
1. Adab Penuntut Ilmu terhadap Dirinya Sendiri (Adab al-Muta’allim fii Nafsihi)
• Menyucikan hati dari segala sifat-sifat tercela, agar mudah menyerap ilmu.
• Meluruskan niat dalam mencari ilmu, yakni ikhlas hanya karena ingin mendapat ridha Allah.
• Menghargai waktu, dengan cara mencurahkan segala perhatian untuk urusan ilmu.
• Membuat jadwal kegiatan harian secara teratur, sehingga alokasi waktu yang dihabiskan jelas dan tidak terbuang sia-sia.
• Hendaknya memperhatikan makanan yang dikonsumsi, harus dari yang halal dan tidak terlalu kenyang sehingga tidak berlebih-lebihan. 
• Bersifat wara’, yaitu menjaga diri dari segala sifatnya syubhat dan syahwat hawa nafsu.
• Menghindari diri dari segala makanan yang dapat menyebabkan kebodohan dan lemahnya hafalan, seperti apel, asam, dan cuka.
• Mengurangi waktu tidur, karena terlalu banyak tidur dapat menyia-nyiakan usia dan terhalang dari faedah.
• Menjaga pergaulan, yaitu hanya bergaul dengan orang-orang saleh yang memiliki antusias dan cita-cita tinggi dalam ilmu, dan meninggalkan pergaulan dengan orang yang buruk akhlaknya, karena hal itu berdampak buruk terhadap perkembangan ilmunya.
2. Adab Penuntut Ilmu terhadap Gurunya (Adab al-Muta’allim Ma,a Syaikhihi)
• Memilih guru yang berkualitas, baik dari segi keilmuan dan akhlaknya.
• Menaati perintah dan nasihat guru, sebagaimana taatnya pasien terhadap dokter sepesialis.
• Mengagungkan dan menghormati guru sebagaimana para ulama salaf mengagungkan para guru mereka. 
• Menjaga hak-hak gurunya dan mengingat jasa-jasanya, sepanjang hidupnya, dan setelah wafatnya, seperti mendoakan kebaikan bagi sang guru dan menghormati keluarganya.
• Sabar terhadap perlakuan kasar atau akhlak yang buruk dari gurunya. Jika hal seperti ini terjadi pada dirinya, hendaknya ia bersikap lapang dada dan memaafkannya serta tidak berlaku su’uzhan terhadap gurunya tersebut.
• Menunjukan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada gurunya yang telah mengasuhnya dalam naungan keilmuan.
• Berkomunikasi dengan guru secara santun dan lemah lembut.
• Ketika guru menyampaikan suatu pembahasan yang telah didengar atau sudah dihafal oleh murid, hendaknya ia tetap mendengarkannya dengan penuh antusias, seakan-akan dirinya belum pernah mendengar pembahasan tersebut.
• Penuntut ilmu tidak boleh terburu-buru menjawab atas pertanyaan, baik dari guru atau dari peserta, sampai ada isyarat dari guru untuk menjawabnya.

 

BAB III

PENUTUP

 

A. Simpulan

Dari beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Q.S.Al-Mujadalah ayat 11 ini memberikan gambaran tentang perintah bagi setiap manusia untuk menjaga adab sopan santun dalam suatu majlis pertemuan dan adab sopan santun terhadap Rasulullah Saw. Al-Mujadalah merupakan salah satu surat dalam al-qur’an dengan jumlah 22 ayat. Surat ini turun di Madinah. Yang tditurunkan sesudah surat Al-Munaafiqun.Termaksud golongan surat madaniyah yang diturunkan sesudah surat al-Munafiqun.

Isi kandungan pada ayat diatas berbicara tentang etika atau akhlak ketika berada dalam majelis ilmu. Etika dan akhlak tersebut antara lain ditunjukan untuk mendukung terciptanya ketertiban, kenyamanan dan ketenangan suasana dalam majelis, sehingga dapat mendukung kelancaran kegiatan ilmu pengetahuan. Ayat diatas juga sering digunakan para ahli untuk mendorong diadakannya kegiatan di bidang ilmu pengetahuan, dengan cara mengunjungi atau mengadakan dan menghadiri majeis ilmu. Dan orang yang mendapatkan ilmu itu selanjutnya akan mencapai derajat yang tinggi dari Allah.

Ta’dib secara Etimologi merupakan bentuk masdar kata kerja addaba yang berari ‘mendidik, melatih berdisiplin, memperbaiki, mengambil tindakan, beradab, sopan, berbudi baik, mengikuti jejak akhlaknya. Kata ta’dib pada umumnya lebih banyak digunakan pada pendidikan yang bersifat keterapilan lahir yakni latihan dan keterampilan. Ia berasal dari kata adab, yang berarti etika, sopan santun, dan budi pekerti lebih tepat diartikan mengajarkan adab atau diartikan memberi pelajaran atau hukuman

 

B. Saran 

Dalam pengkajian terkait dengan kepemimpinan dalam pendidikan di dalam makalah ini penulis mengakui masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, diharapkan ketika nanti ada yang mengakaji terkait dengan hal sama agar dapat megakaji lebih sempurna dan lengkap.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Maraghi, Ahmad Musthofa, Tafsir al-Maraghi 1, terj. Bahrun Abu Bakar, Beirut: Darul Kutub.

AbiHasan,Albassry  , An-Nukt wa Al-Uyun Tafsir Al-mawardy,juz . dar al- Kutubal-islamiyyah,    Beirut Libnan.

Anwar,Cecep,2015.Tafsir Ayat-ayat Pendidikan.Bandung

 As-suyuthi,jalaludin, sebab turunnya ayat alqur’an, depok: gema insane, 2008.

Burhanudin,Undang,Tafsir Kontemporer,insan mandiri,Bandung

Fuad Al-Baqi,Muhammad,Al-Mu’jam al0Mufahras lil al-fadz al-Qur’an, beirut: Dar al-Fikr, 1992

Gofarfar E.M,M.Abdul.Tafsir Ibnu Katsir (Lubaabut Tafsiir Min Ibni Katsiir).Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’i.

Hamka. Tafsir Al-azhar. PT Pustaka Panji Mas. Jakarta:198

Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam KehidupanMasyarakat, Bandung: Mizan, 2007.

Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol.I, Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’i atas Berbagai Persoalan Umat,Mizan,Bandung