ISTISHAB SYAR'U MAN QOBLANA
KATA
PENGANTAR
Assalamu’alaikum. Wr. Wb.
Puji
dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah banyak memberikan beribu-ribu nikmat kepada
kita umat-Nya. Rahmat beserta salam semoga tetap tercurahkan kepada jungjunan
kita, pemimpin akhir zaman yang sangat dipanuti oleh pengikutnya yakni Nabi
Muhammad SAW. “Kedudukan Istishab, Syar’u Man Qoblana, Dan Bara’ah
Ashliyah Dalam Hukum Islam’’
ini sengaja di bahas karena
sangat penting untuk kita khususnya sebagai mahasiswa di
kehidupan dewasa ini .
Selanjutnya, penyusun
mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan
pengarahan-pengarahan sehingga kami dapat menyelesaikan paper ini dengan tepat
waktu. Tidak lupa juga kepada bapak dosen dan teman-teman yang lain untuk
memberikan sarannya kepada kami agar penyusunan makalah ini lebih baik lagi.
Demikian, semoga paper ini
bermanfaat khususnya bagi penyusun dan umumnya semua yang membaca makalah ini.
Wassalamu’alaikum.Wr.Wb.
Semarang,
9 Maret 2019
Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang......................................................................... 1
B.
Rumusan
Masalah.................................................................... 2
C.
Tujuan penulisan...................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Istishab...................................................................3
B. Pengertian Syar’u man qablana.............................................6
C. Pengertian Bara’ah al-Ashliyyah............................................9
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................ 19
DAFTAR PUSTAKA.................................................................. 20
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Tidak diragukan lagi bahwa Syariat Islam adalah
penutup semua risalah samawiyah, yang membawa petunjuk dan tuntunan Allah untuk
ummat manusia dalam wujudnya yang lengkap dan final. Itulah sebabnya, dengan
posisi seperti ini, maka Allah pun mewujudkan format Syariat Islam sebagai
syariat yang abadi dan komperhensif.
Hal itu dibuktikan dengan adanya prinsip-prinsip dan
kaidah-kaidah hukum yang ada dalam Islam yang membuatnya dapat memberikan
jawaban terhadap terhadap hajat dan kebutuhan manusia yang berubah dari waktu
ke waktu, seiring dengan perkembangan zaman. Secara kongkrit hal itu
ditunjukkan dengan adanya dua hal penting dalam hukum Islam:
(1) nash-nash
yang menetapkan hukum-hukum yang tak akan berubah sepanjang zaman dan
(2) pembukaan jalan bagi para mujtahid untuk melakukan
ijtihad dalam hal-hal yang tidak dijelaskan secara sharih dalam nash-nash
tersebut.
Al-Qur’an yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi
Muhammad SAW merupakan tuntutan bagi umat Islam. Di dalamnya berisi berbagai
tuntunan hidup yang berkaitan dengan ketuhanan sampai mu’amalah antar sesama
manusia. Sehingga hukum-hukum yang berkaitan dengan kehidupan umat Islam bisa
digali darinya.
Namun segala sesuatu perbuatan itu tidak boleh diberi
status hukum kecuali apabila terdapat dalil syar’i atas hukum tersebut. Karena
tidak ada hukum atas segala sesuatu, demikian pula dengan perbuatan bagi orang
yang berakal sebelum datangnya syara’.
B. Rumusan Masalah
a. Apa Pengertian Istishab ?
b. Apa Pengertian Syar’u man qablana ?
c. Apa Pengertian Bara’ah al-Ashliyyah ?
B. Tujuan Masalah
a.
Memahami
Pengertian Istishab
b.
Memahami
Pengertian Syar’u
man qablana
c.
Memahami
Pengertian Bara’ah al-Ashliyyah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Istishab
Istishab menurut bahasa berasdal
dari kata subhah yang berarti menemani atau menyertai. Namun sebagian
buku ushul menyatakan Istishhab menurut bahasa sebagai berikut :
1. Mengakui adanya hubungan perkawinan
Sedangkan menurut istilah
Istishhab adalah Hukum terhadap Sesuatu dengan keadaan yang ada sebelumnya,
sampai adanya dalil, untuk mengubah keadaan itu. atau menjadikan hukum yang
tetap di masa yang lalu itu, tetap dipakai sampai sekarang, sampai ada dalil
muntuk mengubahnaya.
Dari pengertian diatas, mungkin
susah dipahami, sehingga memerlukan contoh yang kongkrit, seorang mahasiswa
misalnya menyandang predikat mahasiswa apabila dia diketahui memasuki bangku
kuliah, predikat tetap melekat padanya berdasrkan istishab sampai ada dalil
yang menunjukkan adanya perubahan status, untuk mendapatkan predikat mahasiswa
tersebut, tidak perlu ditetapkan setiap tahun atau setiap bulan.
Istishab merupakan salah satu hal
yang menjadi peredebatan para ulama, didalam pemberlakuan menjadi sumber hukum
dalam mengistimbatkan hukum. Memang secara akal sehat dengan mudah dapat
mendukung penggunaan Istishab, sebagai contoh : “ Apabila si Fulan jelas
menjadi suami resmi dari seorang perempuan, maka dengan sendirinya berarti
antara kedua orang terjalin ikatan perkawinan, sampai terjadi perceraian,
Istishhab bisa diterima sebagai sumber hukum dilihat dari segi syara’ yaitu
ternyata berdasarkan penelitian terhadap hukum-hukum syara disimpulkan bahwa
hukum-hukum itu tetap berlaku sesuai dengan dalil yang ada sampai ada dalil
yang lain mengubahnya. Anggur memabukan, berdasarkan ketetapan dan syara’
adalah minuman haram kecuali apabilah telah berubah sifatnya, yakni iskar, baik
dicampuran atau berubah dengan sendirinya menjadi cuka.
Dengan Istishab ulama banyak
menetapkan kaeadah ushul, yang dijadikan sebagai pertimbangan dalam menetapkan
sesuatu hukum. Adapun macam-macam istishab diklasifikasikan memenjadi dua macam
yaitu :
pertama, istishab yang melangsungkan
berlakunya hukum akal mengenai kebolehan atau bebas asal, pada saat tidak
dijumpainya dalil yang mengubahnya. Segala macam makanan dan minuman yang tidak
terdapat dalil syara’ tentang keharamannya, adalah mubah atau halal, sebab Allah
menciptakan segala sesuatu dibumi ini agar dapat diambil mamfaatnya oleh
manusia. Hal ini sesuai dengan kaedah ushul fiqih yang dibangun oleh ulama :
ﺍﻥﺍﻻﺼﻝﻓﻰﺍﻻﺸﻴﺎﺀﺍﻻﺒﺎﺤﺔ
Dan ini juga sesuai dengan Firman Allah dalam Al-qur’an dalam surah
Al-Baqarah
ﻫﻭﺍﻠﺫﻯﺨﻠﻕﻠﻜﻡﻤﺎﻔﻰﺍﻻﺭﺽﺠﻤﻴﻌﺎ
Arinya : “Dialah Allah Yang menjadikan segala yang ada di bumi
untuk kamu..”(Al-Baqarah :29)
Kedua, Istishab yang melangsungkan
berlakunya hukum syara’ berdasarkan sesuatu dalil, dan tidak ada dalil yang
lain yang mengubahnya, misal, jika seorang telah berwudhu, kemudian ragu –ragu
apakah wudhunya telah batal atau belum maka ia dihukumi belum batal, dengan
dasar keadaan wudhu sebelumnya yang diyakini. Adapun kaedah yang dibangun oleh
ulama yang berhubungan dengan hal ini yaitu :
ﺍﻠﻴﻗﻴﻥﻻﻴﺯﺍﻝﺒﺎﻠﺸﻙ
Artinya : Sesuatu yang meyakinkan
tidak hilan karena keraguan.
Walaupu ulama yang lain
menberikan tanggapan yang berbeda pula mengenai macam-macam istishab, mereka
ada yang membagi istishab kedalam tiga macam, namun hal ini tidak menjadi
persoalan karena semua macam-macam istishab tersebut yang diungkapkan oleh para
ulam memiliki makna yang sama.
1. Kehujjahan Al-Istishhab
Mengenai
kehujjahan Istishhab para ulama berbeda pendapat ada yang menerima al-istishhab
dan ada yang menolak al-istishhab. Argumen ulama yang menerima Istishhab adalah
bahwa dalam muamalah dan pengelolaan harta, manusia memberlakukan adat yang
sudah berlaku di antara mereka, ia dapat dijadikan dasar menentukan hokum
tersebut selama tidak ada dalil yang mengubahnya, hal ini sesuai dengan
Al-quran surah Al-barah ayat 29.
Ulama yang menerima al-istishhab
dapat dibedakan menjadi tiga :
a. Jumhur ulama yang dipelopori oleh imam malik, sebagian ulama syafi’iah dan
hanafiah berpendapat bahwa istishhab dapat dijadikan hujjah ketika tidak ada
nas atau dalil dari Al-quaran,hadist, ijmak,qias. hukum yang ada tetap berlaku
sepanjang belum ada dalil yang mengubahnya
b. Sebagian ulama Hanafi’ah dan Syafi’ah berpendapat bahwa istishhab bukankah
dalil untuk menentukan hukum yang sekarang, ia sekedar mengetahui hukum masa
lalu. Sedangkan untuk menentukan hukumnya sekarang ini, ia memerlukan dalil.
c. Jumhur ulama hanafiah berpendapat bahwa istishhab adalah untuk menetapkan
(dirinya sendiri) dan bukan untuk menetapkan yang lain.
Sedangkan argument ulama yang
menolaknya adalah bahwa penentuan halal, haram, dan sucinya sesuatu
memerlukan dalil yang dalil itu tidak dapat kecuali dari “syari’’. Dalil-dalil
syari tercakup dalam nas Alquran dan Sunnah, ijmak, dan Qias. Dan istishhab
tidak masuk dalil syari.
Istishhab merupakan akhir dalil syar’i yang
menjadi tempat kembali seorang mujtahid untuk mengetahui hukum sesuatu yang
dihadapkan kepadanya. Dan para ahli ilmu ushul figih berkata seungguhnya
istishhab merupakn akhir tempat beredarnya fatwa. Ia adalah penetapan hukum
terhadap sesuatu dengan hukum yang telah tetap baginya, sepanjang tidak ada
dalil yang mengubahnya.
Istishhab tidak menetapkan sesuatu
hukum baru lagi sesuatu hal, tetapi hanya melangsungkan berlakunya hukum akal
tentang kebolehan (Ibahah) atau bebas asal (bar’at al-ashaliyah) atau
melangsungkan hukum syara’ tentang sesuatu atas dasar terpenuhinya sebab
terjadinya hukum. Oleh karena itu istishab hanya menjadi hujjah untuk
melangsungkan hokum yang telah ada, tidak untuk menetapkan hukum baru yang
sebelumnya belum ada.[4]
B. Pengertian
Syar’u man qablana
Syar’u man qablana atau syariat umat sebelum
kita adalah syariat Allah yang diturunkan kepada umat sebelum nabi muhammad
saw. Yakni ajaran agama sebelum islam. Syariat para rasul sebelum nabi saw dan
syariat islam, Keduanya disebut syari’at samawiyah (), sebab pada dasarnya
syariat yang diturunkan untuk dijadikan pedoman hidup manusia, sejak dahulu
hingga masa-masa selajutnya sama yakni berasal
berasal dari Allah SWT. Namun masa turun dan pemakaiannya berbeda hingga
ketentuan-ketentuan dalam syariat itu juga mengalami penyesuaian. Diantara isi
syariat tersebut ada yang berlaku untuk umat selanjutnya dan ada pula yang
tidak berlaku lagi.[5]
Allah swt berfirman dalam surat al-maidah
ayat 48
نْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ
مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ ۖ
فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ
عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ ۚلِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا........
Artinya: “Dan Kami telah menurunkan Kitab
(al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan
kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya maka putuskanlah perkara
mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti
keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.
Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.
1. Kedudukan
syar’u man qablana
Syariat umat sebelum kita juga menjadi
syariat bagi kita ( umat islam ) hal itu terjadi apabila al-quran dan sunah
menegaskan bahwa syariat tersebut diwajibkan, baik itu untuk mereka ( orang
sebelum kita ) maupun untuk kita. Contohnya perintah puasa dan hukuma qisas.
Namun seandainya Al-Qur’an dan sunah
menegaskan syariat orang sebelum kita telah dinasakh (dihapus), tidak ada lagi
kewajiban lagi bagi kita untuk mengikutinya karena bukan syariat kita, misalnya
dalam syariat Nabi Musa A.S bahwasanya
orang yang berdosa tidak dapat menebus dosanya kecuali dengan dengan membunuh
dirinya sendiri contoh lainnya pakaian yang terkena najis tidak dapat disucikan
kecuali dengan memotong bagian yang terkena najis. Syariat itu tidak berlaku
lagi bagi umat nabi muhammad saw.
Menurut abu zahra, ada tiga ketentuan yang
harus diperhatikan dalam melihat syariat orang sebelum kita :
Ø Syariat orang sebelum kita harus diceritakan
dengan berdasarkan sumber-sumber yang menjadi pedoman ajaran islam
Ø Apabila syariat umat sebelumkita telah di
nasakh, ia tidak boleh diamalkan artinya syariat itu memang untuk mereka
Ø Disyariatkan suatu hukum berlaku untuk mereka
( umat sebelum kita ) dan untuk kita apabila didasari oleh nas islam dan bukan
cerita orang-orang terdahulu misalnya kewajiban berpuasa. Kewajiban berpuasa
merupan syariat umat sebelum kita yang
ditegaskan kembali dalam Al-Qur’an.[6]
A.
Pebagian dan hukum syar,u man qablana
Secara garis besar syar’u man qablana (
syariat sebelum kita ) dapat dikelompokan menjadi dua sebagai berikut :
Ø Apa yang di syariatkan kepada mereka juga
ditetapkan kepada umat nabi muhammad saw, baik penetapannya melalui perintah
melaksanakan ( seperti puasa ) maupun melalui kisah ( seperti qisas ). Terhadap
syariat jenis ini, umat islam harus mengikuti dan mengamalkan karena syariat
islam juga menetapkannya sebagai suatu kewajiban.
Ø Apa yang disyariatkan kepada mereka tidak
disyariatkan kepada umat nabi muhammad saw, misalnya syariat Nabi Musa A.S
tentang dosa orang jahat yang yang tidak akan terhapus dosanya jika tidak
membunuh dirinya sendiri dan pakaian
yang terkena najis hanya dapat disucikan dengan memotong bagian yang terkena
najis. Terhadap syariat jenis ini, para ulam sepakat agr ditinggalkan karena
syariat islam telah menghapusnya.[7]
2. Kehujjahan syar’u man qablana
Para ulama berbeda pendapat mengenai apakah
syari’at sebelum kita itu menjadi dalil dalam menetapkan hukum bagi umat nabi
muhammad, pendapat mereka sebagai berikut :
Ø Jumhur ulama hanafiyah dan hanabilah dan
sebagai syafi’iyah dan malikiyah serta ulama kalam asy’ayariyah dan mu’tazilah
berpendapat bahwa hukum-hukum syara’ sebelum kita tersebut tidak berlaku untuk
kita ( umat nabi muhammad ) selama tidak dijelaskan pemberlakuannya untuk umat
nabi muhammad. Alasannya adalah bahwa syari’at sebelum kita itu berlaku secara
khusus untuk umat ketika itu tidak berlaku secara umum. Lain halnya syariat
yang di bawa nabi muhammad sebagai rasul terakhir yang berlaku secara umumdan
menasakh syari’at sebelumnya .
Ø Sebagai sahabat abu hanifah, sebagai ulama
malikiyah, sebagai sahabat imam syafiidan imam ahmad dalam salah satu riwayat
mengatakan bahwa hukum-hukum yang di sebutkan dalam al-qur’an atau suanah nabi
meskipun tidak diarahkan untuk umat nabi muhammad selama tidak ada penjelasan
tentang nasakhnya maka berlaku untuk umat nabi muhammad.[8]
C. Pengertian Bara’ah al-Ashliyyah
Bara’ah secara
etimologi berasal dari kata bur’, bara’ atau bari’ yang
berarti bebas dari sesuatu yang tidak disukai. Dalam fiqh berarti bebasnya
seseorang dari suatu tanggungan atau ikatan hukum karena belum ada dalil yang
menunjukkan adanya tanggungan atau ikatan itu.
Secara umum, al-bara’ah artinya
adalah bebasnya dari hukuman. Sedangkan al-ashliyyahartinya adalah
asalnya. Jadi, al-Bara’ah al-Ashliyyah berarti seseorang itu
pada asalnya adalah terbebas dari serangan selama tidak ada hukum yang mengatur
larangan tersebut.
استصحاب حكم الاصل فى
عدم الاحكام
“Istishab
hukum asal tentang tidak adanya hukum”.
Maksudnya adalah apabila sudah tidak ada hukum dimana
yang telah lalu, maka hal itu menyebabkan kita menyangka terus menerus bahwa
hal itu tidak ada hukumnya. Maka wajib bagi kita berpegang pada tidak ada hukum
sesudah kita teliti yang menghilangkan keadaan itu. Karenanya, suatu perbuatan
yang belum diketahui ada hukumnya dalam syara’, maka perbuatan itu terlepas
dari hukum haram, makruh, wajib, atau sunnah.
Gamal Banna yang dikutip oleh Burhanuddin berasumsi
bahwa sejatinya konsep dasar Islam adalah al-barâ’ah al-ashliyah, baik
dalam relevansinya dengan manusia maupun dengan alam. Sehingga karakter dasar
manusia adalah barî’: terlepas dari kesalahan. Kesalahan yang
menimpa dirinya adalah sebuah barang baru (thâri’) jika
terdapat faktor-faktor pendorongnya. Ia mencontohkannya dengan kisah Nabi Adam A.S. yang telah “melanggar” perintah-Nya dan laik
mendapat “dosa”. Namun Allah SWT pun mengampuninya. Ia berujar :
“…lantas Allah SWT pun mengampuninya. Baik ampunan ini
kembali pada beberapa kalimât yang diterima oleh Adam dari Tuhan.. ataupun
karena konsep al-barâ’ah al-ashliyah menyiapkannya potensi untuk menyadari
kesalahannya sendiri lantas bertaubat. Ketika itulah Tuhan baru menurunkan
kalimât-Nya. Kesimpulannya tetap sama: kembali pada potensi al-barâ’ah dan
terlepas dari kesalahan, karena al-barâ’ah itu yang asal, sedang kesalahan
adalah datang baru kemudian.”
Artinya,
menurutnya, peristiwa diterimanya taubatnya Nabi Adam saw. bukan hanya karena
Tuhan mengirimkannya beberapa kalimât, namun al-barâ’ah
al-ashliyah yang melekat menjadi potensi dasar setiap manusialah yang
menyebabkannya bertaubat dan diterima.
Dari segi hadits, ia pun mengais-ngais hadits demi
membasisi konsep ini. Ia kemudian memboking hadits tentang al-fithrah yang
secara eksplisit menjelaskan bahwa manusia terlahir di muka bumi secara suci.
Kemudian orang tuanyalah yang (terkadang) membuatnya menjadi Majusi atau
Yahudi. Artinya, manusia memiliki potensi internal menjadi suci tanpa memboking
potensi eksternal manapun. Segala perubahan dalam hidupnya adalah pengaruh
lingkungan dan faktor eksternal lain. Aplikasinya, manusia dengan potensi
internal (al-fithrah) ini sejatinya mampu membuktikan
eksistensi Tuhan sebagaimana dalam QS. al-‘Ankabût: 61, yang artinya :
“Dan
Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menjadikan langit
dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?” tentu mereka akan menjawab:
“Allah”, Maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar).”
Namun tetap tak akan mampu mencapai Hakekat Tuhan
sejatinya. Konsep ini pula yang menjadikan Kristiani berbeda dengan Islam. Di
saat yan pertama mengenal konsep “penebusan dosa” dan eksistensi gereja sebagai
lembaga yang memonopoli penafsiran agama, maka yang kedua sama sekali tak
mengakuinya.
Sejatinya konsep ini bukanlah sumber hukum yang
berwibawa. Karena konsep ini sejatinya adalah semacam “pintu” emergency ketika
tak ada dalil yang membahasnya. Hal ini bisa terbaca secara implisit dari
sinonim yang sering dipakai para Ushuliyyin: al-‘adam al-ashliy. Artinya,
konsep al-bara’at al-ashliyyah adalah konsep di mana belum ditemukan
dalil yang membahasnya. Wibawa konsep ini semakin turun manakala para
Ushuliyyin seringkali memasukkan konsep ini dalam pelbagai bentuk al-istishhâb. Ia
bukan dalil independen layaknya dalil yang lain sebagaimana Ibnu Rusyd
tegaskan. Jika demikian, sama sekali tak sah mengatakan bahwa al-barâ’ah
al-ashliyyah mampu melahirkan konsep al-ashl fi al-asyya’
al-ibâhah. Ketika pertama diperdebatkan posisinya dalam sumber
hukum, maka yang kedua merupakan dalil yang telah diamini banyak kalangan.
Dilihat dari segi filosofisnya, konsep al-bara’ah
al-ashliyyah sangat besar sekali nilai yang dikandungnya. Al-bara’ah
al-ashliyyah berarti manusia pada dasarnya bebas untuk berbuat segala
sesuatu di muka bumi ini. Bumi dan langit dan apa yang ada di antara keduanya diperuntukkan
bagi manusia, tidak hanya kebebasan bertindak di muka bumi ini, tetapi al-bara’ah
al-ashliyyah mempunyai konsep filosofis agar manusia kembali pada
jalan yang suci jika melakukan kesalahan. Sebab manusia dilahirkan ke dunia
dalam keadaan merdeka dan suci. Konsep al-bara’ah al-ashliyyah menuntut
manusia agar berjalan sesuai dengan rel yang benar dan suci. Islam tidak
seperti Kristen yang mempunyai konsep al-khoti’ah ashliyah. Islam
adalah agama fitrah yaitu agama yang menjunjung kebenaran dan kesucian.
Maka al-bara’ah al-ashliyyah sebenarnya upaya implementasi dan
realisasi terhadap ajaran Islam yang fitrah sebagaimana manusia juga fitrah.
Dari penjelasan panjang lebar tentang al-bara’ah
al-ashliyyah, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut, antara lain :
Ø Konsep al-bara’ah al-ashliyyah jika
diterapkan mampu membawa perubahan yang sangat besar.
Ø Halal dan haram adalah privasi Tuhan.
Ø Hukum hanya tiga; halal, haram dan ‘afwu sedangkan
sunnah makruh dan mubah adalah buatan fuqaha sendiri.
Ø Saddu al-Dzara’i berbeda -jika tidak
bertentangan- dengan konsep al-Qur’an muqashah.
1. Dalil Bara’ah al-Ashliyyah
Konsep al-bara’ah al-ashliyyah mempunyai arti bahwa asal segala sesuatu adalah
halal dan pengharaman adalah pengecualian. Luas daerah halal dalam Islam lebih
besar daripada haram. Hal ini karena haram merupakan hukum yang tidak asli (hukmun
thariun). Banyak ayat-ayat al-Qur’an yang memaparkan signifikansi
konsep al-bara’ah al-ashliyyah,. Di antaranya ayat 153 surat
Al-A’raaf, yang artinya :
“Orang-orang
yang mengerjakan kejahatan, Kemudian bertaubat sesudah itu dan beriman;
Sesungguhnya Tuhan kamu sesudah Taubat yang disertai dengan iman itu adalah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Kemudian
ayat-ayat lain yang mempersempit daerah haram adalah al-A’raaf ayat 32 dan 157
yang artinya:
“Katakanlah:
“Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang Telah dikeluarkan-Nya
untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?”
Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam
kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat.” Demikianlah kami
menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang Mengetahui.
“(yaitu)
orang-orang yang mengikut rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis
di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka
mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan
menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala
yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada
pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya,
menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya
(Al-Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung.
Selanjutnya
dalam surat Al-Maidah:
101-103, yang artinya :
101.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu)
hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu
menanyakan di waktu Al-Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu,
Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyantun.
102.
Sesungguhnya Telah ada segolongsn manusia sebelum kamu menanyakan hal-hal yang
serupa itu (kepada nabi mereka), Kemudian mereka tidak percaya kepadanya.
103.
Allah sekali-kali tidak pernah
mensyari’atkan adanya bahiirah, saaibah, washiilah dan haam. akan tetapi
orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allah, dan kebanyakan mereka
tidak mengerti.
Surat
Al-An’am
ayat 140, yang artinya :
“Sesungguhnya
Rugilah orang yang membunuh anak-anak mereka, Karena kebodohan lagi tidak
mengetahui dan mereka mengharamkan apa yang Allah Telah rezki-kan pada mereka
dengan semata-mata mengada-adakan terhadap Allah. Sesungguhnya mereka Telah sesat
dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.”
Surat
Al-Nahl
ayat 116, yang artinya :
“Dan
janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara
dusta “Ini halal dan Ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap
Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah
tiadalah beruntung.”
Surat
Yunus ayat 59, yang artinya :
“Katakanlah:
“Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu
jadikan sebagiannya Haram dan (sebagiannya) halal”. Katakanlah: “Apakah Allah
Telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja
terhadap Allah ?”
Ayat-ayat di atas semua menerangkan
bahwa sebenarnya hukum asal itu adalah halal, sedangakan haram itu datang
kemudian yang menjadi hukum baru karena ulah manusia itu sendiri. Hal inilah
yang merupakan inti konsep dari bara’ah al-ashliyyah.
Secara umum fuqaha menerima
eksistensi konsep al-bara’ah al-ashliyyah sebagai dasar hukum.
Namun mereka tidak menilainya secara proporsional. Konsep al-bara’ah
al-ashliyyah tidak akan disebut bersamaan dengan empat sumber hukum
Islam yang utama, yakni al-Qur’an, sunnah, ijma dan qiyas. Ia hanya ditulis
sebagai pelengkap yang paling akhir setelah isithsan, istishab, maslahah
mursalah, syar’u man qablana. Sebabnya menurut Gamal Banna konsep ini jika
diterapkan akan mengurangi peran fuqaha. Sebagai ganti dari al-bara’ah
al-ashliyyah, mereka memperluas saddu al-dzara’i.
Pengambilan hukum dengan
cara bara’ah al-ashliyyah tetap berlaku, karena hukum syara’
tidak bisa ditemukan dengan akal, tetapi hukum syara’ menunjukkan terbebasnya
beban setelah diutusnya nabi dalam hal-hal yang tidak ada hukumnya dalam
syara’. Sebagaimana ketika nabi mewajibkan shalat lima waktu, maka shalat
keenam tidak wajib dengan tanpa keterangan dari nabi tentang tidak adanya,
tetapi tidak wajibnya shalat enam waktu merupakan dalil bara’ah
al-ashliyyah.
2. Pengambilan
Hukum dengan Bara’ah al-Ashliyyah
Pada dasarnya seorang terbebas
dari taklif (beban). Ketika sebelum terjadinya peristiwa isra’
mi’raj yang pada peristiwa tersebut Rasulullah menerima perintah shalat, maka
umat Islam tidak mempunyai kewajiban untuk shalat. Begitu juga ketika sebelum
turunnya ayat yang mewajibnya puasa, maka tidak ada kewajiban untuk puasa.
Mengenai apakah Bara’ah
al-Ashliyyah ini bisa dijadikan pegangan dalam pengambilan hukum, ini
masih diperdebatkan di kalangan ulama. Misalnya tidak ada ayat yang membolehkan
atau melarang sesuatu sehingga dalam hal tersebut tidak wajib dan tidak juga
dilarang, tidak haram, tidak sunnah serta tidak juga mubah.
Dalam
hal ini para ulama berbeda pendapat:
1.
Ada
yang mengatakan bahwa hal yang dimaksud itu mubah, kecuali ada dua hal yang
menjadikan itu wajib atau haram.
2. Kalau tidak ada ketentuan, tidak ada ayat ataupun
hadits yang turun menjelaskan maka hal tersebut adalah haram.
3.
Tidak
ada komentar mengenai hal tersebut (mendiamkan).
Ketiga pendapat ini kemudian
dibantah oleh Imam al-Ghazali. Menurutnya, ketiga pendapat tersebut tidaklah
benar karena kalau tidak ada syara’ ataupun tidak ada ketentuan-ketentuan
syari’at dari Allah maupun dari Rasulullah baik langsung maupun melalui
perantara, maka kalau dikatakan mubah ataupun haram yang itu semua adalah
hukum. Berarti kita telah menentukan hukum di luar ketentuan Allah dan juga
menghukumi dengan bukan hukum Allah.
Berbeda halnya dengan kaum
Mu’tazilah. Menurut mereka, walaupun hukum tidak pernah mengatakan, walaupun
Allah dan Rasulullah juga tidak pernah memberitahukan tetapi otak kita mampu
memilah-milah apakah perbuatan itu baik ataupun buruk menurut pendapat otak.
Jika perbuatan itu buruk, walaupun tidak ada ketentuan dari Allah dan
Rasulullah, maka perbuatan tersebut haram dilakukan. Dan jika perbuatan itu
baik, walaupun tidak ada ketentuan dari Allah dan Rasulullah, maka perbuatan
tersebut adalah baik dan boleh dilakukan.
Konsep Mu’tazilah ini disebut
dengan at-tahsin wa at-takbih (baik dan buruk), artinya menyikapi
kondisi berdasarkan otak. Tetapi mayoritas ulama tidak seperti itu, karena
mereka berpendapat bahwa otak selamanya tidak akan bisa dijadikan sebagai
pegangan.
E. Ruang
Lingkup Bara’ah al-Ashliyyah
Pembahasan Bara’ah
al-Ashliyyah mencakup lapangan ibadah dan lapangan mu’amalah,
karena bara’ah dijadikan sebagai hukum dasar Islam, baik dalam
hubungan manusia dengan benda ataupun dengan sesamanya.
Dalam mu’amalah yang menyangkut
hubungan manusia dengan benda, yang menjadi hukum dasar adalah ketidakbolehan
dalam hal mu’amalah antara manusia dengan sesamanya (terutama dalam hubungan
seksual). Ketidakbolehan di sini merupakan bara’ah, yaitu bahwa
manusia dilarang melakukan hubungan seksual sebelum ada sebab yang
memperbolehkannya. Prinsip ini tertuang dalam kaidah:
الاصل فى الابصاع
التحريم
“Hukum
asal tentang seks adalah haram”.
Kaidah
ini dilandasi oleh ayat:
5.
Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,
6.
Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; Maka Sesungguhnya
mereka dalam hal Ini tiada terceIa.
7.
Barangsiapa mencari yang di balik itu Maka mereka Itulah orang-orang yang
melampaui batas. (QS. Al-Mu’minuun/23: 5-7)
Berdasarkan
kaidah ini, as-Suyuthi melihat bahwa semua perbuatan yang berhubungan dengan
seks adalah haram, kecuali ada sebab yang memperbolehkannya, misalnya karena
akad nikah atau karena hubungan perbudakan. Karena itu, seorang pria tidak
diperbolehkan menikahi wanita yang masih diragukan nasabnya, karena
dikhawatirkan wanita itu masih termasuk mahram bagi pria tersebut.
Golongan
yang banyak menerapkan Bara’ah al-Ashliyyah sebagai hukum
dalam menghadapi permasalahan yang ada adalah golongan Zhahiriyah dan Syi’ah
Imamiyah.
F. Kaidah-Kaidah
Bara’ah al-Ashliyyah
Bara’ah
al-Ashliyyah sebagai dasar hukum setidaknya dikukuhkan oleh
beberapa kaidah, yaitu:
·
Keyakinan tidak dapat
dihilangkan dengan keraguan. Menurut Abdul Hamid Hakim, kaidah ini merupakan
salah satu kaidah dasar menyangkut keyakinan dalam hukum, sehingga bila
terdapat dua hal yang bertentangan, yang ditetapkan sebagai hukum asal ialah
yang diyakini.
·
Hukum asal tetap
berlaku sebagaimana adanya sampai ada dalil yang membatalkannya. Misalnya hukum
asal memakan segala benda adalah halal. Hukum yang demikian akan senantiasa
berlaku demikian sebelum ada sesuatu yang membuatnya haram.
·
Hukum yang terdahulu dibiarkan apa adanya,
kecuali ada dalil yang menghapusnya. Misalnya seseorang yang berhutang tetap
bertanggung jawab atas hutangnya sebelum ada bukti bahwa hutang itu sudah dilunasinya,
yang menyebabkan ia bebas dari hutang.
·
Hukum asal dalam
ucapan adalah kata yang hakikat (menurut maknanya yang asli). Misalnya
seseorang mengatakan, “Si A panjang tangannya”. Ucapan tersebut harus dipahami
sebagaimana adanya, kecuali ada indikasi lain yang mengharuskan untuk diartikan
dengan makna majasi.
Untuk
menetapkan kaidah-kaidah Bara’ah al-Ashliyyah di atas sering
ditemui kesulitan, terutama menyangkut hal yang hukum asalnya diragukan,
menurut Ahmad bin Muhammad Az-Zarqa, perlu diketahui dua hal:
1.
Kenyataan yang ada
ketika hukum ditetapkan dipandang sebagai perpanjangan dari yang ada dari masa
lalu, jika diantara keduanya terdapat kausalitas waktu. Misalnya jika ada dua
orang yang mempersengketakan tanah tanpa bukti yang sah, maka yang dipandang
pemiliknya adalah orang yang menggarap tanah itu sebelum terjadi sengketa,
karena menurut kenyataan, padanyalah tanah itu terpegang sebelum terjadinya
sengketa.
2.
Keadaan yang sedang
berlaku dipandang sebagai hukum asal, kendati tidak diketahui hubungannya
dengan masa lalu. Misalnya jika ada dua orang yang mempersengketakan sebungkah
emas, maka si pemegang emas dipandang sebagai pemiliknya, karena pada saat
peninjauan hukum ternyata emas itu berada di tangannya.
3.
Menetapkan suatu
hukum dapat pula dilakukan dengan memperhatikan salah satu dari tiga alas an
syar’i, adanya alat bukti, ikrar pengakuan, keberatan atas sumpah. Jika salah
satu dari faktor tersebut diperoleh, maka tiga faktor ini didahulukan daripada
kenyataan yang ada.
Menurut
Hasbi Ash-Shiddieqy dan Salih bin Abdullah bin Humaid, Bara’ah
al-Ashliyyahsebagai hukum asal dalam keberagaman sesuai dengan kodrat
manusia, karena manusia dilahirkan dalam keadaan merdeka, belum dibebani oleh
tanggung jawab dan ikatan apapun. Dia dilahirkan dalam keadaan suci, tidak
menanggung beban dosa, adanya beban tanggung jawab tidak lain adalah sebagai
konsekuensi dari hak-hak yang didapatkannya atau karena perbuatan yang
dilakukannya.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Istishab menurut bahasa berasdal
dari kata subhah yang berarti menemani atau menyertai. Sedangkan
menurut istilah Istishhab adalah Hukum terhadap Sesuatu dengan keadaan yang ada
sebelumnya, sampai adanya dalil, untuk mengubah keadaan itu. atau menjadikan
hukum yang tetap di masa yang lalu itu, tetap dipakai sampai sekarang, sampai
ada dalil muntuk mengubahnaya.
Syar’u man qablana atau syariat umat sebelum kita adalah
syariat Allah yang diturunkan kepada
umat sebelum nabi muhammad saw. Yakni ajaran agama sebelum islam. Syariat para
rasul sebelum nabi saw dan syariat islam, Keduanya disebut syari’at samawiyah
(), sebab pada dasarnya syariat yang diturunkan untuk dijadikan pedoman hidup
manusia, sejak dahulu hingga masa-masa selajutnya sama yakni berasal berasal dari Allah SWT.
Bara’ah secara
etimologi berasal dari kata bur’, bara’ atau bari’ yang
berarti bebas dari sesuatu yang tidak disukai. Dalam fiqh berarti bebasnya
seseorang dari suatu tanggungan atau ikatan hukum karena belum ada dalil yang
menunjukkan adanya tanggungan atau ikatan itu.
Secara umum, al-bara’ah artinya
adalah bebasnya dari hukuman. Sedangkan al-ashliyyahartinya adalah
asalnya. Jadi, al-Bara’ah al-Ashliyyah berarti seseorang itu
pada asalnya adalah terbebas dari serangan selama tidak ada hukum yang mengatur
larangan tersebut.
استصحاب حكم الاصل فى
عدم الاحكام
“Istishab
hukum asal tentang tidak adanya hukum”.
DAFTAR PUSTAKA
1. Zahra,
Abu Muhammad. 2002. Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus. Hal. 84.
2. Khallaf, Abdul Wahaf. 1994.
Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina. Hal. 162.
3. Mubarok, Jain. 2002. Metodologi Ijtihad Hukum Islam. Yogyakarta: UII Press. hal. 64.
4. Rahmat, Jalaluddin.
1994. Ijtihad Dalam Sorotan. Bandung: Mizan. Hal. 97.
5. Suratno,anang zamroni,mendalami ushul
fikih,(aqila,kurikulum 2013),hlm82.
6. Ibid.,hlm83.
7. Ibid.,hlm84.
8. Amir
syarifuddin,2008,ushul fiqh,jakarta:kencana prenada media group,hlm 394.