Sebab sebab , syarat dan rukun dalam ilmu mawaris
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah berkenan melimpahkan rahmatdan hidayah-Nya sehingga kami dapatmenyelesaikan makalah ini tepat pada waktunyadengan baik dan lancar. Makalah ini kami susununtuk menyelesaikan tugas dan guna mengkutiperkuliahan selanjutnya tahun pelajaran 2021.Makalah ini mengenalkan tentang “Sebab, Rukun, dan Syarat Kewarisan’’.
Makalah ini dapat kami selesaikan denganbaik dan lancar berkat bantuan dan bimbinganberbagai pihak.Oleh karena itu, kami sangatberterima kasih khususnya kepada Allah SWT yang memperlancar tugas makalah kami, selain itukami juga berterima kasih kepada semua pihakyang ikut membantu.Untuk teman-teman senasibseperjuangan yang telah bersama-samamelaksanakan tugas mulia ini, baik dalam keadaansuka maupun duka.
Semoga segala bantuan yang telah diberikankepada kami diterima oleh Allah SWT sebagaiamal sholeh dan mendapatkan pahala berlimpahdari-Nya.
Kami sadar, makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, saran dan masukanperbaikan sangat kami harapkan untukmenyempurnakan tugas-tugas serupa pada masayang akan datang. Kami berharap makalah inidapat bermanfaat bagi kita semua.Amin.
Penulis
Semarang,8Maret 2021
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II PEMBAHASAN 3
BAB III PENUTUP 13
DAFTAR PUSTAKA 15
�
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengertian Warisan, adalah berpindahnya hakdan kewajiban atas segala sesuatu baik hartamaupun tanggungan dari orang yang telahmeninggal dunia kepada keluarganya yang masihhidup. "Dan untuk masing-masing (laki-laki danperempuan) Kami telah menetapkan para ahliwaris atas apa vang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya dan karib kerabatnya. Dan orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berikanlah kepada mereka bagiannya.Sungguh, Allah Maha Menyaksikan segalasesuatu." (QS. 4/An-Nisa': 33)
Syariat islam telah meletakkan aturan kewarisan dan hukum mengenai harta benda dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya.Hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum keluarga yang memegang peranan sangat penting bahkan menentukan dan mencerminkan sistem dan bentuk hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat. Hal ini disebabkan karena hukum waris itu sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia.Setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa, yang merupakan peristiwa hukum yaitu disebut meninggal dunia. Apabila terjadi suatu peristiwa meninggalnya seseorang, hal ini merupakan peristiwa hukum yang sekaligus menimbulkan akibat hukum, yaitu tentang bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu.
Penyelesaian hak-hak dan kewajiban seseorang tersebut diatur oleh hukum. Jadi, warisan itu dapat dikatakan ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris kepada para warisnya. Secara etimologisMawaris adalah bentuk jamak dari kata miras(موارث), yang merupakan mashdar (infinitif) darikata : warasa – yarisu – irsan – mirasan. Maknanya menurut bahasa adalah ; berpindahnyasesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau darisuatu kaum kepada kaum lain.
Sedangkan maknanya menurut istilah yang dikenal para ulama ialah, berpindahnya hakkepemilikan dari orang yang meninggal kepadaahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atauapa saja yang berupa hak milik yang legal secarasyar’i.Jadi yang dimaksudkan dengan mawarisdalam hukum Islam adalah pemindahan hak milikdari seseorang yang telah meninggal kepada ahliwaris yang masih hidup sesuai dengan ketentuandalam al-Quran dan al-Hadis.
Pada makalah kali ini kami akan menguraikan mengenai rukun, syarat serta sebab- sebab dalam waris mewarisi.
B. Rumusan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sebab Warisan
Menurut islam, mempusakai atau mewarisi itu berfungsi menggantikan kedudukan si mati dalam memiliki dan memanfaatkan harta miliknya. Bijaksana sekali kiranya kalau penggantian ini di percayakan kepada orang-orang yang banyak memberikan bantuan, pertolongan, pelayanan, pertimbangan dalam kehidupan berumah tangga dan mencurahkan tenaga dan harta demi pendidikan putra-putranya, seperti suami istri. Atau di percayakan kepada orang-orang yang selalu menjunjung martabat dan nama baiknya dan selalu mendoakan sepeninggalnya, seperti anak-anak turunnya . Atau di percayakan kepada orang yang telah banyak menumpahkan kasih sayang, menafkahinya, mendidiknya dan mendewasakannya, seperti orang tua. Atau di percayakan kepada orang yang telah mengorbankan sebagian harta bendanya untuk membebaskan dari perbudakannya menjadi manusia yang mempunyai hak kemerdekaan penuh dan cakap bertindak, seperti maulal-‘ataqah (orang yang membebaskan budak).[3]
Begitu juga dalam system individual mengenai ketentuan islam mengenai siapa berkewenangan memperoleh hak waris tapi ada juga sekaligus sisi kolektif dalam arti person yang menikmati lebih lebar dalam ketentuan mengenai siapa memperoleh kewenangan hak waris. Didapatkan dalam islam beberapa sebab yang menjadi pendukung mengapa seseorang tertentu di beri kewenangan memperoleh hak waris atas harta yang di tinggalkan, sebab yang menjadi penentu ini dalam literature fiqih disebutkan ada 3 hal: [4]
1. Kerabat hakiki (yang ada ikatan nasab), diantara sebab beralihnya harta seseorang yang telah mati kepada yang masih hidup adalah adanya hubungan silaturrahmi atau kekerabatan antara keduanya. Adanya hubungan kekerabatan yang di tentukan oleh adanya hubungan darah seperti kedua orang tua, anak, saudara, paman, dan seterusnya.
2. Pernikahan, yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar’i) antara seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim(bersenggama) antara keduanya. Adapun pernikahan yang bathil atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris.
3. Al –wala’, yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Di sebut juga wala’ al-‘itqi dan wala’ an ni’mah. Penyebabnya adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan seseorang. Kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang dinamakan wala al-‘itqi. Orang yang membebaskan budak berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia. Oleh karena itu, Allah SWT. Menganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang di bebaskan bila budak itu tidak memliki ahli waris yang hakiki, baik karena ada kekerabatan (nasab) ataupun ada tali pernikahan.[6]
Dasar hukum kekerabatan sebagai ketentuan adanya hak kewarisan adalah firman Allah :
للرجال نصيب مما ترك الولدان والأقربون وللنساء نصيب مما ترك الولدان والأقربون مما قل منه اوكثر نصيبا مفروضا
Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan karabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah di tetapkan.[7]
Adapun menurut ulama malikiyah, syafiiyah, dan hanbaliyah
Menutut pendapat ulama-ulama ini yang di maksud dengan harta peninggalan itu adalah:” segala yang ditinggalkan oleh si mati, baik berupa harta benda maupun hak-hak. Baik hak-hak tersebut hak-hak kebendaan maupun bukan kebendaan.”[8]
Demikian pula dalam surat al-Anfal ayat 75
والذين امنوامن بعدوها جرواوجا هدوامعكم فاولئك منكم واولواالرحام بعضهم اولى ببعض في كتا ب الله.
Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) didalam kitab Allah. (Q.S. Al-Anfal : 75).
Adapun sebab sebab terjadinya mewaris disebabkan oleh:
a. Adanya hubungan kekerabatan (nasab)
b. Adanya hubungan perkawinan (sabab).
Kedua hal tersebut telah terangkum dalam pengertian ahli waris yang diatur dalam Pasal 171 huruf c. Menurut Pasal tersebut, ahli waris adalah,[9]
“orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.”
Ditinjau dari garis yang menghubungkan nasab antara yang diwarisi dengan yang mewarisi, kerabat dapat di golongkan menjadi tiga, yaitu:
1. Furu’,yaitu anak turun (cabang) dari si pewaris
2.Ushul, yaitu leluhur (pokok) yang menyebabkan adanya si pewaris.
3.Hawasyi, yaitu keluarga yang dihubungkan dengan si pewaris melalui garis menyamping, seperti saudara, paman bibi, dan anak turunannya tanpa membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan.[10]
2.6 Halangan Mewaris
1. Mahrum (yang diharamkan) / Mamnu’ (yang dilarang) :
Halangan untuk menerima warisan merupakan hal yang menyebabkan gugurnya hak ahli waris untuk menerima warisan dari harta peninggalan pewaris Ahli waris yang terkena halangan ini disebut mahrum atau mamnu’
Dalam hukum kewarisan Islam ada tiga penghalang mewaris, yaitu :
a. Pembunuhan
Apabila seseorang ahli waris membunuh pewaris, misalnya seseorang anak membunuh ayahnya maka ia tidak berhak mendapatkan warisan.(Muhammad Ali Ash-Shabuni, Op.Cit., hal.41.) Pembunuhan yang dilakukan ahli waris terhadap pewarisnya menyebabkan ia terhalang haknya untuk mewarisi. Karena itu, yang terpenting adalah bagaimana membuktikan bahwa seseorang telah bersalah melakukan pembunuhan terhadap si pewaris. Mengingat, banyak cara yang ditempuh seseorang untuk mengahabisi nyawa orang lain, termasuk si korban adalah keluarganya sendiri. (Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Op.Cit., hal.404.)
Rasulullah SAW bersabda :
“Barangsiapa membunuh seorang korban, maka ia tidak berhak mewarisinya, meskipun korban tidak mempunyai ahli waris lainnya selain dirinya, baik itu orang tuanya, atau anaknya maka bagi pembunuh tidak berhak atas warisan (Riwayat Ahmad) (Ibid.).
Para ulama Hanafiyah membagi pembunuhan menjadi dua jenis :
Pembunuhan langsung (mubasyarah) dan pembunuhan tidak langsung (tasabub). Pembunuhan yang langsung tersebut dibagi lagi menjadi empat, yakni pembunuhan dengan sengaja, pembunuhan yang serupa sengaja, pembunuhan yang dipandang tidak sengaja. Sedangkan pembunuhan tidak langsung, misalnya seseorang membuat lubang di kebunnya, kemudian ada orang yang terperosok ke dalam lubang tadi dan meninggal dunia. Matinya korban disebabkan perbuatan tidak langsung oleh orang yang membuat lubang tersebut. (A.Rachmad Budiono, Op.Cit., hal.12.)
Menurut para ulama Hanafiyah pembunuhan langsung merupakan penghalang untuk mewaris, sedangkan pembunuhan tidak langsung , bukan penghalang untuk mewaris. (Ibid.)
b. Berbeda agama
Berbeda agama berarti agama pewaris berbeda dengan agama ahli waris.
Misalnya pewaris beragama Islam, sedangkan ahli warisnya beragama Kristen, atau sebaliknya. (A.Racmad Budiono,Op.Cit., hal.12.)
Imam Ahmad ibn Hanbal dalam salah satu pendapatnya mengatakan bahwa apabila seseorang ahli waris masuk Islam sebelum pembagian warisan dilakukan, maka ia tidak terhalang untuk mewarisi. Alasannya, karena status berlainan agama sudah hilang sebelum harta warisan dibagi. (Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Op.Cit., hal.37.)
c. Perbudakan
Perbudakan menjadi penghalang mewarisi, bukanlah karena status kemanusiannya, tetapi semata-mata karena status formalnya sebagai hamba sahaya (budak).(Ibid., hal 39.) Islam sangat tegas tidak menyetujui adanya perbudakan, sebaliknya Islam sangat menganjurkan agar setiap budak hendaknya dimerdekakan. Pada hakikatnya, perbudakan tidak sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan rahmat yang menjadi ide dasar ajaran Islam. (Ibid.)
Sementara itu di dalam Pasal 173 KHI seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena :
Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris
Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
2. Hijab
Hijab adalah terhalangnya seseorang ahli waris untuk menerima warisan, disebabkan adanya ahli waris (kelompok ahli waris) yang lebih utama dari padanya. (Suhrawardi K.Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hal .59.)
Terdapat 2 macam hijab, yakni:hijab nuqshaan, dan hijab hirman.
a. Hijab nuqshan
Adalah berkurangnya warisan salah seorang ahli waris disebabkan adanya orang lain. Hijab nuqshan ini berlaku pada lima orang berikut : (Sayyid Sabiq,Op.Cit., hal.500.)
Suami terhalang dari separuh menjadi seperempat apabila ada anak;
Istri terhalang dari seperempat menjadi seperdelapan apabila ada anak;
Ibu terhalang dari sepertiga menjadi seperenam apabila ada keturunan yang mewarisi;
Anak perempuan dari anak laki-laki;
Saudara perempuan seayah;
b. Hijab hirman atau hijab penuh
Adalah terhalangnya semua warisan seseorang karena adanya orang lain, seperti terhalangnya warisan saudara laki-laki dengan adanya anak laki-laki, ditegaskan dari dua asas berikut : (Ibid.,hal.501.)
Setiap orang yang mempunyai hubungan dengan pewaris karena adanya orang lain itu, maka dia tidak menerima warisan apabila orang tersebut ada. Misalnya, anak laki laki dari anak laki-laki tidak menerima warisan bersama dengan adanya anak laki-laki, kecuali anak anak laki-laki dari ibu maka mereka itu mewarisi bersama dengan ibu, padahal mereka mempunyai hubungan dengan si mayat karena dia;
Setiap orang yang lebih dekat didahulukan atas orang yang lebih jauh, maka anak laki-laki menghalangi anak laki-laki dari saudara laki-laki. Apabila mereka sama dalam derajat maka diseleksi dengan kekuatan hubungan kekerabatannya, seperti saudara laki-laki sekandung menghalangi saudara laki-laki seayah.
Ahli waris yang dapat terhijab penuh adalah seluruh ahli waris kecuali anak, ayah, ibu, dan suami atau isteri. Kelima ahli waris ini tidak akan pernah terhijab secara hijab penuh. Anak laki-laki dan ayah dapat menutup ahli waris lain secara hijab penuh sedangkan suami-isteri tidak pernah menghijab siapapun di antara ahli waris. (Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Kencana, Padang, 2004, hal.201.)
Perbedaan antara Mahrum dan Hijab
Terdapat beberapa perbedaan antara mahrum dan hijab, yaitu : (Sayyid Sabiq,Op.Cit., hal 501.)Mahrum sama sekali tidak berhak untuk mewarisi, seperti orang yang membunuh pewaris. Sedangkan hijab berhak mendapatkan warisan, tetapi dia terhalang karena adanya orang lain yang lebih utama darinya untuk mendapatkan warisan;
Mahrum dari warisan itu tidak mempengaruhi orang lain, maka dia tidak menghalanginya sama sekali, bahkan dia dianggap seperti tidak ada. Misalnya, apabila seseorang mati dan meninggalkan seorang anak laki-laki kafir dan seorang saudara laki-laki muslim; maka warisan itu semua adalah bagi saudara laki-laki, sedangkan anak laki laki tidak mendapatkan apa apa. Sedangkan hijab maka terkadang ia mempengaruhi orang lain. (Ibid.)
B. Rukun
Untuk terjadinya sebuah pewarisan harta, maka harus terpenuhi Rukun- rukun waris. Bila ada salah satu dari rukun- rukun tersebut tidak terpenuhi, maka tidak terjadi pewarisan.
Menurut hukum islam, rukun-rukun mewarisi ada 3 yaitu :
a) Muwarrits (pewaris)
Menurut hukum islam, muwarrits (pewaris) adalah orang yang telah meninggal dunia dengan meninggalkan harta warisan untuk di bagi- bagikan atau pengalihan harta kepada para ahli waris.
b) Warits (ahli waris)
Menurut hukum islam, warits (ahli waris) adalah orang-orang yang berhak mendapatkan harta peninggalan si mati, baik di sebabkan adanya hubungan kekerabatan dengan jalan nasab atau pernikahan, maupun sebab hubungan hak perwalian dengan muwarrits.[1]
Sedangkan menurut KHI, Warits (ahli waris) adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau perkawinan dengan pewaris, beragama islam, dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
c) Mauruts (harta waris)
Menurut hukum islam, mauruts (harta waris) adalah harta benda yang di tinggalkan oleh si mati yang akan di warisi oleh para ahli waris setelah di ambil untuk biaya-biaya perawatan, melunasi hutang-hutang dan melaksanakan wasiat. Harta peninggalan ini oleh para faradhiyun di sebut juga dengan tirkah atau turats.
Fatchur Rahman, mendefinisikan tirkah atau harta peninggalan adalah harta kekayaan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia (muwarits) yang dibenarkan syari’at untuk dipusakai oleh para ahli waris (waris), yang meliputi:
a. Harta kekayaan yang memiliki sifat-sifat kebendaan yang bernilai
b. Hak-hak atas kebendaan, misal hak irigasi pertanian
c. Hak-hak immateriil, misal hak syuf’ah (privilege)
d. Hak-hak atas harta kekayaan yang berkaitan dengan orang lain (piutang, hak gadai yang sesuai syari’ah, penulis).
Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), Mauruts (harta waris) adalah harta bawaan di tambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat. (pasal 171 huruf e)
C. Syarat – Syarat
Menurut hukum islam, masalah waris mewarisi akan terjadi apabila di penuhinya syarat- syarat mewarisi. Adapun syarat-syarat mewarisi ada 3 yaitu :
1) Meninggal dunianya muwarris (pewaris).
Kematian muwaris, menurut ulama, di bedakan ke dalam tiga macam, yaitu: (Fathur Rahman, 1981 :79)
a. Mati haqiqi (sejati), adalah kematian yang dapat di saksikan oleh panca indra.
b. Mati hukmy (menurut putusan hakim), adalah kematian yang di sebabkan adanya putusan hakim, baik orangnya masih hidup ataupun sudah mati.
c.Mati taqdiry (menurut dugaan), adalah kematian yang di dasarkan pada dugaan yang kuat bahwa orang yang bersangkutan telah mati.
2) Hidupnya warits (ahli waris).
Seorang ahli waris hanya akan mewaris jika dia masih hidup ketika pewaris meninggal dunia. Masalah yang biasanya muncul berkaitan dengan hal ini antara lain mafqud, anak dalam kandungan, dan mati bersamaan.
Masalah anak dalam kandungan terjadi dalam hal istri muwaris dalam keadaan mengandung ketika muwaris meninggal dunia. Penetapan keberadaan anak tersebut dilakukan saat kelahiran anak tersebut. Oleh sebab itu, pembagian waris dapat di tangguhkan sampai anak tersebut dilahirkan.
3) Mengetahui status kewarisan
Seluruh ahli waris di ketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-masing. Dalam hal ini, posisi para ahli waris hendaklah diketahui secara pasti, misalnya suami, istri, kerabat, dan sebagainya, sehingga pembagi mengetahui dengan pasti jumlah bagian yang harus diberikan kepada masing-masing ahli waris. Sebab, dalam hukum waris, perbedaan jauh-dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah yang di terima, karena tidak cukup hanya mengatakan bahwa seseorang adalah saudara sang pewaris. Akan tetapi, harus di nyatakan apakah ia sebagai saudara kandung, saudara seayah, atau saudara seibu. Mereka masing-masing mempunyai hukum bagian, ada yang berhak menerima warisan karena sebagai ahlul furudh, ada yang karena ashobah, ada yang terhalang hingga tidak mendapatkan warisan (mahjub), serta ada yang tidak terhalang.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hal yang menyebabkan orang mendapatkan warisan ada 3 yaitu:
Pernikahan, yaitu terjadinya akad nikah antara seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim(bersenggama) antara keduanya.
. Seseorang bisa mendapatkan warisan harus dengan memenuhi syarat-syarat mewarisi yaitu:
Hidupnya warits (ahli waris).
Mengetahui status kewarisan
Agar seseorang dapat mewarisi harta orang yang meninggal dunia, adanya hubungan suami istri, hubungan kerabat dan derajat kekerabatannya.beserta apa saja yang menjadi penghalang untuk mewarisi.
Rukun – rukun mewarisi ada 3 yaitu :
DAFTAR PUSTAKA
Rahman Fatchur, 1975, Ilmu Waris, (Bandung : PT Al-Ma’arif)
Muhammad As shabuni Ali, 1995, Hukum Waris dalam Syariat lslam, (Bandung : CV diponegoro)
Salman Otje & haffas Mustofa, 2002, hukum waris islam, (Bandung : PT Refika Aditama)
Rachmad Budiono, 1999, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, ( Bandung : PT. Citra aditya bakti,)
Dian khoirul umam, 1999, fiqih Mawaris, (Bandung : CV. Pustaka setia)
Amin husain nasution, 2012, Hukum Kewarisan, (Jakarta : PT raja grafindo persada)
Ahmad kuzairi, 1996, Sistem Asabah (Dasar Pemindahan Hak Milik Atas Harta Tinggalan) Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
K Lubis Suhrawardi, 1995 hukum waris islam,(Sinar grafika jakarta)
Syarifuddin amir, 2004 hukum kewarisan islam, (prenada media, jakarta)
Muhammad Ali As shabuni, hukum waris dalamsyariat islam, (Bandung : CV diponegoro, 1995)
Otje Salman & Mustofa haffas, hukum warisislam, (Bandung : PT Refika Aditama, 2002)
Ali parman, kewarisan dalam Al-Qur’an, (Jakarta :PT Raja Grafindo Persada, 1995)