Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

MAKALAH TASAWUF ASWAJA










Disusun Oleh :








FAKULTAS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


UNIVERSITAS WAHID HASYIM


2018-2019























Salah satu ilmu yang dapat membantu
terwujudnya manusia yang berkualitas adalah ilmu Tasawuf. Ilmu
tersebut satu mata rantai dengan ilmu-ilmu lainnya dengan pada sisi luar
yang dhahir yang tak ubahnya jasad dan ruh yang
tak dapat terpisah keduanya. Ilmu tersebut dinamakan juga ilmu bathin sebagaimana
pendapat Syekh al-Manawi dalam kitab Faed al-Qadir dalam
menjelaskan hadis Nabi :


العلم علمان
فعلم في القلب فذالك علم النافع وعلم علي اللسان فذالك حجة الله علي ابن ادم (ش)
والحكيم عن الحسن مرسلا (خط) عن جابر (ح) وكيل علم الباطن يخرج من القلب وعلم
الظاهر يخرج من اللسان





“Ilmu itu dua macam, ilmu yang ada dalam qalbu,
itulah ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang diucapkan oleh lidah adalah
ilmu hujjah/hukum, atas anak cucu Adam. Dari Abi Syaebah dan Hakim
dari Hasan dan dikatakan Syekh al-Manawi bahwa ilmu bathin itu keluar
dari qalbu dan ilmu dhahir itu
keluar dari lidah”
[1]


Bahwa ilmu bathin yang
keluar dari qalbu itu adalah tasawuf, yang
dikerjakan dan diamalkan oleh qalbu atau hati, dan ilmu dhahir yang
keluar dari lidah adalah ilmu yang diucapkan oleh lidah dan diamalkan
oleh jasad yang disebut juga ilmu syari’ah.


Ilmu tersebut tidak dapat terpisah
keduanya karena ilmu dhahir diucapkan dan digerakkan oleh
tubuh/jasad dan ilmu bathin diamalkan oleh qalbu dan
serentak pengamalannya bersamaan keduanya. Hal tersebut menunjukkan bahwa ilmu
tersebut tidak dapat dipisahkan keduanya bahkan makin dalam ilmu Tasawuf seseorang
itu semakin mendalam pula pengamalan syari’at-nya. Seorang Sufi
sangat menjaga syari’at-nya dan bathin-nya, bahkan
keluar masuk nafasnya dan khatar(kata hatinya) itu, juga
dipeliharanya.


Orang-orang yang memelihara nafasnya
yakni keluar masuk atau turun naiknya nafas itu berbarengan dengan disertai dzikir rahasia
melalui qalbu-nya, misalnya dzikirAllah ( الله ) misalnya pada saat itu nafasnya
keluar/turun, dan dengan dzikir hua ( هو ) pada saat nafasnya masuk/naik,
amalan seperti ini adalah amalan-amalan Sufi.


Selama manusia itu bernafas, maka dzikir bathin tersebut
dapat diamalkan baik di waktu duduk, berdiri, maupun berbaring, bahkan dalam
kondisi bagaimanapun dzikirbathin itu dapat diamalkan.[2]


Manusia yang amalannya demikian
tidak terpisah dengan Allah, sehingga sulit untuk melupakan Allah, apalagi
berpikir berbuat dosa dan melanggar perintah Allah, karena tidak akan dapat
berkumpul bersama-sama pada waktu bersamaan pada seseorang dalam qalbu-nya,
nafasnya ber-dzikir kepada Allah, sementara jasadnya berbuat dosa.
Tetapi yang pasti adalah ber-dzikir qalbu-nya dan diamalkan
oleh jasadnya dan masuk sampai dalam sumsum tulang, atau dimensi dalam dan
amalan cara itu pula yang disebut Tasawuf.


Tasawuf sebagai sumsum tulang atau
dimensi dalam, dari wahyu ke-Islaman, adalah upaya dalam yang luhur,
dimana tauhid tercapai. Semua orang Islam yakin akan kesatuan
sebagaimana terungkap di dalam syahadat.[3]


Dari penjelasan di atas, dapat
dipahami bahwa Tasawuf adalah salah satu dari ilmu-ilmu
ke-Islaman yang begitu menarik untuk dikaji. Oleh karena itu, pada makalah ini
akan diuraikan :






a)     
Sejauh mana arti tasawuf 
?


b)      Bagaimana
klasifikasi tasawuf  ?


c)      Apakah
tujuan yang hendak dicapai oleh tasawuf ?


d)      Sejauh mana
manfaat dari tasawuf itu ?


e)      Bagaiamana konteks
akhlaq aswaja ?

















Dalam Islam tasawuf merupakan pengembangan dari akhlaq. Akhlaq
secara bahasa
, diartikan perangai atau kesopanan. Kata akhlaq bentuk jama’
taksir dari kata Khuluq, sebagaimana A’naq  berasal dari kata Unuq .


Secara Istilah Menurut Ibn
Maskawaih Akhlaq adalah keadaan jiwa yang mendorong manusia untuk berbuat, tanpa
pemikiran dan pertimbngan .


Menurut Abu Bakar Jabir Al-Jazairy Akhlaq adalah bentuk kejiwaan
yang tertanam dalam diri manusia yang menimbulkan perbuatan yang disengaja
berupa perbuatan baik atau buruk, terpuji atau tercela.


Taasawuf Secara bahasa dari kata Suf artinya kain wol kasar,
atau bersih, suci. Maksud pengertian bahasa ini bahwa tasawuf identik dengan
kesederhanaan, sifat-sifat terpuji dan kedekatan dengan Tuhan. Atau dengan kata
lain bahwa tasawuf menggambarkan keadaan yang selalu berorientasi kesucian
jiwa, mengutumakan panggilan Allah, berpola hidup sederhana, mengutamakan
kebenaran, dan rela berkorban demi tujuan-tujuan yang lebih mulia disisi Allah
SWT.


Secara Istilah tasawuf adalah jalan spritual dan merupakan dimensi
batin.


Jadi tasawuf adalah keadaan sikap mental, keadaan jiwa dari suatau
keadaan kepada keadaan lain yang lebih baik, lebih tinggi dan lebih sempurna
atau suatu perpindahan dari alam kebendaan kepada alam rohani.


Dalam tasawuf dikenal adanya latihan-latihan rohaniyah yang secarabertahap
menempuh berbagai jenjang dengan istilah tingkatan (maqam) dan keadaan ( haal).


. Menurut Syekh Ahmad ibn Athaillah
yang diterjemahkan oleh Abu Jihaduddin Rafqi al-Hānif:


1.   
Berasal dari
kata suffah (صفة) yaitu segolongan
sahabat-sahabat Nabi yang menyisihkan dirinya di serambi masjid Nabawi, karena
di serambi itu para sahabat selalu duduk bersama-sama Rasulullah untuk
mendengarkan fatwa-fatwa beliau untuk disampaikan kepada orang lain yang belum
menerima fatwa itu.


2.   
Berasal dari
kata sūfatun (صوفة)
yaitu bulu binatang, sebab orang yang memasuki tasawuf itu memakai
baju dari bulu binatang dan tidak senang memakai pakaian yang indah-indah
sebagaimana yang dipakai oleh kebanyakan orang.


3.   
Berasal dari
kata sūuf al sufa’ (صوفة الصفا)
yaitu bulu yang terlembut, dengan dimaksud bahwa orang sufi itu
bersifat lembut-lembut.


4.   
Berasal dari
kata safa’ (صفا) yaitu suci bersih,
lawan kotor. Karena orang-orang yang mengamalkan tasawuf itu,
selalu suci bersih lahir dan bathin dan selalu meninggalkan
perbuatan-perbuatan yang kotor yang dapat menyebabkan kemurkaan Allah.


Pendapat
tersebut di atas menjadi khilaf (perbedaan pendapat) para
ulama, bahkan ada pendapat tidak menerima arti tasawuf dari
makna logat atau asal kata. Menurut al-Syekh Abd. Wahid Yahya berkata: Banyak
perbedaan pendapat mengenai kata”sufi” dan telah ditetapkan
ketentuan yang bermacam-macam, tanpa ada satu pendapat yang lebih utama dari
pendapat lainnya kerena semua itu bisa diterima.


Pada
hakekatnya, itu merupakan penamaan simbolis. Jika diinginkan keterangan
selanjutnya, maka haruslah kembali pada jumlah bilangan pada huruf-hurufnya
adalah sesuatu yang menakjubkan jika diperhatikan bahwa jumlah dari huruf sufi sama
dengan jumlah“al-Hakim al-Ilahi”, maka seorang sufi yang hakiki ialah
orang yang sudah mencapai hikmah Ilahi yaitu orang
arif dengan Allah, karena pada hakekatnya bahwa Allah tidak dapat dikenal
melainkan dengan-Nya (dengan pertolongan-Nya).


Dengan
pendapat para ahli tasawuf tentang arti tasawuf menurut
bahasa tersebut di atas, dapatlah diambil kesimpulan bahwa nama-nama dan
istilah menurut bahasa adalah arti simbolik yang bermakna kebersihan dan
kesucian untuk senantisa berhubungan dengan Allah. Untuk mencapai tingkat ma’rifat untuk
menjadi manusia yang berkualitas lagi kamil.


Dari sekian
banyak defenisi yang ditampilkan oleh para ahli tentang tasawuf,
sangat sulit mendefenisikannya secara lengkap karena masing-masing ahli
mendefenisikan tasawuf hanya dapat menyentuh salah satu sudutnya saja,
sebagaimana dikemukakan oleh Anne Marie Schimmel, seorang sejarahwan dan dosen tasawuf
pada Harvard University[4] sebagai
contoh apa yang telah didefenisikan oleh Syekh al-Imam al-Qusyairi dalam
kitabnya Risālah al-Qusyairiyyah


المراعون
انفاسهم مع الله تعالي الحافظون قلوبهم عن طوارق الغفلة باسم التصوف


“Orang-orang yang senantiasa
mengawasi nafasnya bersamaan dengan Allah Ta’ala. Orang-orang yang senantiasa
memelihara hati atau qalbunya dari berbuat lalai dan lupa kepada Allah dengan
cara tersebut di atas dinamakan tasawuf”.


Menurut Abu
Muhammad al-Jariri yang disebutkan dalam kitab al-Risalah al-kusyairi beliau
ditanya tentang tasawuf, maka ia menjawab :


الدخول في كل
خلق سني والخروج من كل خلق دني


“Masuk dalam setiap moral yang luhur
dan keluar dari setiap moral yang rendah”.


Menurut Abd
al-Husain al-Nur memberikan batasan dalam defenisi yang lain yaitu akhlak yang
membentuk tasawuf :


التصوف
الحرية والكرم وترك التكلف والسخاء


“Tasawuf adalah
kemerdekaan, kemurahan  tidak membebani diri serta dermawan”.


Dengan
beberapa pengertian tasawuf tersebut di atas menunjukkan bahwa
hubungan Allah dengan manusia yang tak terpisah, sampai merasuk dalam qalbusehingga
manusia yang ber-tasawuf itu selalu berada dalam daerah Ilahi yang qadim,karena
manusia dalam pengertian qalbu dan ruh, dapat dihubungkan
dengan Allah seperti firman Allah dalam hadis Qudsi :


قوله تعالي
في الحديث القدسي ما وسعني ارضي ولا سمائي ووسعني قلب عبد المؤمن


“Allah berfirman dalam hadis Qudsi,
sekiranya Aku, diletakkan di bumi dan langit-Ku tidak mampu memuat Aku
dan qalbu-nya orang mukmin dapat memuat Aku”.[5]


Bahwa hadis
Qudsi tersebut menggambarkan tentang bumi dan langit tidak dapat secara
langsung dekat Allah swt. Bahkan andaikata Allah swt. Akan ditempatkan dan
diletakkan dalam bumi dan langit itu tidak akan sanggup membawa dan memuatnya,
akan tetapi sekiranya Allah swt. Akan ditempatkan dan diletakkan dalam qalbu-nya
orang mukmin, niscaya akan sanngup dan mampu memuatnya karena manusia itu lebih
tinggi martabatnya, dibandingkan dengan makhluk lainnya, setelah itu pula
manusia mempunyai nur (cahaya dari Allah) dengan demikian
mudah berhubungan, nur dengannur.



Tasawuf
dibedakan menjadi tiga yaitu:


                         
I.           
Tasawuf
Akhlaqi adalah: Tasawuf yang membaha tentang kesempurnaan dan kesucian jiwa
yang di formulasikan pada pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah
laku yang ketat.


                      
II.           
Tasawuf
Amali adalah: Tasawuf yang membahas tentang bagaimana cara mendekatkan diri
kepada Allah dalam pengertian ini Tasawuf berkonotasi Thoriqoh, dimana dalam
thoriqoh dibedakan antara sufi satu dengan yang lain, seperti, murid, mursyid,
wali dan sebagainnya.


                   
III.           
Tasawuf
Falsafi adalah: Tasawuf yang ajarannya memadukan visi mistis dengan visi
rasional penggagasnya.





Aswaja sendiri memilik tokoh panutan dalam bidang tasawuf yaitu Imam
Junaid Al-Baghdadi dan Imam Al-Ghazali.


a)     
Imam
Junaid Al-Baghdadi


nama lengkapnya adalah Abul Qasim Al-Junaid bin Muhammad
Al-Baghdadi adalah sufi yang berusaha keras untuk meyatukan tasawuf dengan
syari’at. Menurut beliau bahwa tasawuf disamping berdasarkan Al-Qur’an dan
Sunnah Nabi, tasawuf juga bentuk amalan sya’riat secara intensif atau
sungguh-sungguh dengan memberikan perhatian utama pada olah hati atau batin.
Untuk mendekatkan diri kepada Tuhan seseorang harus melakukan segala kewajibana
ditambah dengan amalan-amalan sunnah. Upaya beliau meredakan keteganggan antara
orang tasawuf dengan para fuqaha dan mutakallimin, akhirnya berhasi dilakukan
oleh Imam Al-Ghazali.





Adapun Haad (Batasan Definisi ) Ilmu Tasawuf menurut Al-Junaid
adalah:


1.                 
Mengenal
Allah, sehingga antara manusi dengan Allah tidak perantara.


2.                 
Melakukan
semua Akhlaq yang baik menurut sunnah Rosul dan meninggalkan semua akhlaq yang
renda.


3.          
Melepas
hawa nafsu menurut kehendak Allah.


4.          
Merasa
tidak memiliki apapun, juga tidak dimiliki oleh siapa[un kecuali Allah.





b)     
Imam
Al-Ghazali


Nama lengkapnya
adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad AL-Thusi. Al-Ghazali adalah
ulama besar terpenting dalam sejarah pemikiran Islam secara keseluruhan,
sehingga beliau dikenal dengan julukan Hujjah Al-Islam. Beliau dapat
menjadiakan sunnah filsafat dan sufisme menjadi satu aturan yang harmonis dan
seimbang. Dengan kata lain, beliau mampu menempatkan ilmu agama, sufisme, dan
filsafat dalam satu pemikiran yang logis dan teratur serta mengembalikan
pengikut sufi pada syari’at, dan mengembalikan para filosof yang mengandalkan
akal semata kepada jalan yang benar.



Secara umum,
tujuan terpenting dari sufi ialah agar berada sedekat mungkin
dengan Allah.[6]
Akan tetapi apabila diperhatikan karakteristik tasawuf secara umum,
terlihat adanya tiga sasaran “antara” dari tasawuf, yaitu:


1.     
Tasawuf yang
bertujuan untuk pembinaan aspek moral. Aspek ini meliputi mewujudkan kestabilan
jiwa yang berkesinambungan, penguasaan dan pengendalian hawa nafsu sehingga
manusia konsisten dan komitmen hanya kepada keluhuran moral. Tasawuf yang
bertujuan moralitas ini.


2.     
Tasawuf yang
bertujuan ma’rifatullah melalui penyingkapan langsung atau
metode ­al-Kasyf al-HijabTasawuf jenis ini sudah
bersifat teoritis dengan seperangkat ketentuan khusus yang diformulasikan
secara sistimatis analitis.


3.     
Tasawuf yang
bertujuan untuk membahas bagaimana sistem pengenalan dan pendekatan diri kepada
Allah secara mistis filosofis, pengkajian garis hubungan antara Tuhan dengan
makhluk, terutama hubungnan manusia dengan Tuhan dan apa arti dekat dengan
Tuhan. dalam hal apa makna dekat dengan Tuhan itu, terdapat tiga simbolisme
yaitu; dekat dalam arti melihat dan merasakan kehadiran Tuhan dalam hati, dekat
dalam arti berjumpa dengan Tuhan sehingga terjadi dialog antara manusia dengan
Tuhan dan makan dekat yang ketiga adalah penyatuan manusia dengan Tuhan
sehingga yang terjadi adalah menolong antara manusia yang telah menyatu
dalam iradat Tuhan.


Dari uraian
singkat tentang tujuan sufisme ini, terlihat ada keragaman
tujuan itu. Namun dapat dirumuskan bahwa, tujuan akhir dari sufisme adalah
etika murni atau psikologi murni, dan atau keduanya secara bersamaan, yaitu:


(1)
penyerahan diri sepenuhya kepada kehendak mutlak Allah, karena Dialah penggerak
utama dari sermua kejadian di alam ini;


(2)
penanggalan secara total semua keinginan pribadi dan melepaskan diri dari
sifat-sifat jelek yang berkenaan dengan kehidupan duniawi(teresterial) yang
diistilahkan sebagai fana’ al-ma’asi dan baqa’
al-ta’ah
;


(3) peniadan
kesadaran terhadap “diri sendiri” serta pemusatan diri pada perenungan terhadap
Tuhan semata, tiada yang dicari kecuali Dia. Ilāhi anta maksūdīy wa
ridhāka mathlūbīy.






Tasawuf
 memiliki banyak manfaat dalam kehidupan, di bawah ini adalah beberapa
manfaat tasawuf yaitu:


1.         Dalam bidang kecerdasan emosional


Apabila dapat mengamalkan tasawuf
dengan baik maka dapat mengendalikan emosionalnya dengan baik pula


2.      Dalam bidang kecerdasan spiritual


Tasawuf  mengingatkan manusia
tentang kemaitian, agar umat manusia selalu beribadah, beramal shaleh, serta
menjauhi perbuatan maksiat dan kejahatan.


3.      Dalam bidang Agama


Tasawuf  diperlukan untuk
mengamalkan Islam secara kaffah serta untuk mengembangkan kerukunan hidup
beragama dan integrasi sosial


4.      Dalam bidang etos kerja


Tasawuf  dapat memperkuat etos
kerja karena dalam ajaran Islam bekerja itu wajib untuk memenuhi keperluan diri
sendiri, keluarga dan umat.


5.      Dalam bidang Pendidikan


Tasawuf  merupakan salah satu
mata pelajaran yang perlu diajarkan di Madrasah dan mata kuliah di Perguruan
Islam untuk mengembangkan kehidupan agama yang komprehensif dan utuh serta
untuk mengembangkan masyarakat dan bangsa yang bersih, sehat dan maju.


6.      Dalam bidang Ilmu Pengetahuan


Tasawuf  mendidik anggota
masyarakat untuk mengambil keputusan yang bijaksana dan rasional serta mendidik
untuk memiliki tanggung jawab sosial.









E.     Akhlaq-Ahlaq
Aswaja


1.      Al-tawassuth, yaitu
jalan tengah, tidak ekstrem kanan atau kiri. Dalam paham Ahlussunnah Wal
Jamaah, baik bidang hukum (syariah) bidang akidah, maupun bidang akhlak, selalu
dikedepankan prinsip tengah-tengah. Juga di bidang  kemasyarakatan selalu
menempatkan diri pada prinsip hidup menjunjung tinggi keharusan berlaku adil,
lurus di tengah-tengah kehidupan bersama, sehingga ia menjadi panutan dan
menghindari segala bentuk pendekatan ekstrem.


Sikap moderasi Ahlussunnah Wal
Jamaah tercermin pada metode pengambilan hukum (istinbath) yang tidak
semata-mata menggunakan nash, namun juga memperhatikan posisi akal. Begitu pula
dalam wacana berfikir selalu menjembatani antara wahyu dengan rasio (al-ra’y).
Metode (manhaj) seperti inilah yang diimplementasikan oleh imam mazhab
empat serta generasi lapis berikutnya dalam menelorkan hukum-hukum pranata
sosial/fikih. Moderasi adalah suatu ciri yang menegahi antara dua pikiran yang
ekstrem; antara Qadariyah (reewillisme) dan Jabariyah (fatalisme), ortodoks
Salaf dan rasionalisme Mu’tazilah, dan antara sufisme falsafi dan sufisme
salafi.


Penerapan sikap dasar tawassuth dalam
usaha pemahaman al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber ajaran Islam, dilakukan
dalam rangka: (1) Memahami ajaran Islam melalui teks mushhaf al-Qur’an dan
kitab al-Hadits sebagai dokumen tertulis; (2) Memahami ajaran Islam melalui
interpretasi para ahli yang harus sepantasnya diperhitungkan, mulai dari
sahabat, tabi’in sampai para imam dan ulama mu’tabar; (3) Mempersilahkan mereka
yang memiliki persyaratan cukup untuk mengambil kesimpulan pendapat sendiri
langsung dari al-Qur’an dan al-Hadits.


2.      Tawazun, yakni
menjaga keseimbangan dan keselarasan, sehingga terpelihara secara seimbang
antara kepentingan dunia dan akherat, kepentingan pribadi dan masyarakat, dan kepentingan 
masa kini dan masa datang. Pola ini dibangun lebih banyak untuk
persoalan-persoalan yang berdimensi sosial politik. Dalam bahasa lain, melalui
pola ini Aswaja ingin menciptakan integritas dan
solidaritas sosial umat.
[7]


Sikap netral (tawazun) Ahlussunnah Wal Jamaah
berkaitan dengan sikap mereka dalam politik. Ahlussunnah Wal Jamaah tidak
selalu membenarkan kelompok garis keras (ekstrem). Akan tetapi, jika berhadapan
dengan penguasa yang lalim, mereka tidak segan-segan mengambil jarak dan mengadakan
aliansi. Dengan kata lain, suatu saat mereka bisa akomodatif, suatu saat bisa
lebih dari itu meskipun masih dalam batastawazun.


3.      Al-tasamuh, yaitu
bersikap toleran terhadap perbedaan pandangan, terutama dalam hal-hal yang
bersifat furu’iyah, sehingga tidak terjadi perasaan saling terganggu, saling
memusuhi, dan sebaliknya akan tercipta persaudaraan yang islami (ukhuwah
islamiyah). Berbagai pemikiran yang tumbuh dalam masyarakat Muslim mendapatkan
pengakuan yang apresiatif. Keterbukan yang demikian lebar untuk menerima
berbagai pendapat menjadikan Aswaja meimiliki kemampuan untuk meredam berbagai
konflik internal umat. Corak ini sanagt tampak dalam wacana pemikiran hukum
Islam. Sebuah wacana pemikiran keislaman yang paling realistik dan paling banyak
menyentuh aspek relasi sosial.[14]


Dalam diskursus sosial-budaya,
Aswaja banyak melakukan toleransi terhadap tradisi-tradisi yang telah
berkembang di masyarakat, tanpa melibatkan diri dalam substansinya, bahkan
tetap berusaha untuk mengarahkannya. Formalisme dalam aspek-aspek kebudayaan
dalam Aswaja tidaklah memiliki signifikansi yang kuat. Karena itu, tidak
mengherankan dalam tradisi kaum Sunni terkesan wajah kultur Syi’ah atau bahkan
Hinduisme.


Sikap toleran Aswaja yang demikian telah memberikan
makna khusus dalam hubungannya dengan dimensi kemanusiaan secara lebih luas.
Hal ini pula yang membuatnya menarik banyak kaum muslimin di berbagai wilayah
dunia. Pluralistiknya pikiran dan sikap hidup masyarakat adalah keniscayaan dan
ini akan mengantarkannya kepada visi kehidupan dunia yang rahmat di bawah
prinsip ketuhanan.


4.      Ta’adul (keseimbangan)
Ahlussunnah Wal Jamaah terefleksikan pada kiprah mereka dalam kehidupan sosial,
cara mereka bergaul serta kondisi sosial pergaulan dengan sesama muslim yang
tidak mengkafirkan ahlul qiblat serta senantiasa bertasamauh
terhadap sesama muslim maupun umat manusia pada umumnya. 


5.      Amar ma’ruf
nahi munkar 
(menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran).
Dengan prinsip ini, akan timbul kepekaan dan mendorong perbauatan yang
baik/saleh dalam kehidupan bersama serta kepekaan menolak dan mencegah semua
hal yang dapat menjerumuskan kehidupan ke lembah kemungkaran. Jika empat
prinsip ini diperhatikan secara seksama, maka dapat dilihat bahwa ciri dan inti
ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah adalah pembawa rahmat bagi alam semesta (rahmatan
lil ‘alamain
).













A.Kesimpulan


tasawuf adalah keadaan sikap mental, keadaan jiwa dari suatau
keadaan kepada keadaan lain yang lebih baik, lebih tinggi dan lebih sempurna
atau suatu perpindahan dari alam kebendaan kepada alam rohani.


Dalam tasawuf dikenal adanya latihan-latihan rohaniyah yang
secarabertahap menempuh berbagai jenjang dengan istilah tingkatan (maqam) dan
keadaan ( haal).


Tasawuf adalah kebersihan dan
kesucian untuk senantisa berhubungan dengan Allah. Untuk mencapai tingkat ma’rifat untuk
menjadi manusia yang berkualitas lagi kamil.


Tasawuf yang
bertujuan untuk pembinaan aspek moral, dan juga bertujuan untuk membahas
bagaimana sistem pengenalan dan pendekatan diri kepada Allah















Al-Iskandariy,
Ibnu Athoillah. Al-hakim. Dialihbahasakan oleh Salim Bahreisy. Surabaya:
Balai Buku, 1984.


Al-Jaeliy,
Al-Syekh Abd Al-Karim bin Ibrahim. Insan Al- Kamil fi Ma'rifat Awaliri wa Al-Awa'il.
II. Mesir: Syarikah Matba'ah Mustafa-Babil Halabil wa Aladih, 1375 H.


Athoillah,
Ibnu. Mempertajam Mata Hati. t.t: Bintang Pelajar, 1990.


K., Permadi.
Pengantar Ilmu Tasawuf. I. Jakarta: Rineka Cipta, 1997.


Muhammad,
KH. Husein. Kontroversi Aswaja: Aula Perdebatan dan Reinterpretasi.
Yogyakarta: LKiS, 1999.


Mustofa,
Muhammad. Faedul Qadir. IV. Mesir: Sunabun Almaktabah, 1357 H.


Siregar,
H.A. Rivay. Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1999.


Suhabuddin. Metode Mempelajari Ilmu Tasawuf, Menurut Ulama' Sufi.
Surabaya: Mediaa Varia Ilmu, 1996.


















[1]
Mustafa Muhammad
al-Allāmah al-Manawi, Faedul Qadīr, jilid IV (Mesir: Sanabun
Maktabah, 1357 H.), h. 390.




[2]
Sahabuddin, Metode
Mempelajari Ilmu Tasawuf, menurut Ulama Sufi
 (Cet. II; Surabaya: Media
Varia Ilmu, 1996), h. 6.




[3]
Ibid., h. 7.







[4]
K. Permadi, Pengantar
Ilmu Tasawuf
 (Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1997), h. 31.




[5]
Al-Syekh Abd
al-Karim ibn Ibrahim al-Jaeliy, Insān al-Kāmil fi Ma’rifat Awāliri wa
al-Awā’il 
, jilid II (Mesir: Syarikah Matba’ah Mustafa- Babil Halabi
wa Alādih, 1375 H), h. 25.




[6]
Ibnu Athaillah
al-Iskandariy, al-Hikam, diterjemahkan oleh Salim Bahreisy
dengan judul Tarjamah al-Hikmah (Cet. V; Surabaya: Balai Buku,
1984), h. 6.







[7]
KH. Husein Muhammad,
dalam Imam Baihaqi (ed), Kontroversi Aswaja: Aula
Perdebatan dan Reinterpretasi, 
(Yogyakarta: LKiS, 1999), 
hlm. 37